BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita
tidak pernah lepas dari yang namanya organisasi baik itu organisasi masyarakat,
sekolah, perusahaan, dan lainnya yang menuntut kita ntuk turut serta
bekecimpung di dalamnya. Dalam hal ini budaya organisasi perlu di lestarikan
dalam semua lembaga-lembaga organisasi, sehingga akan tercipta sebuah
organisasi yang bagus dan tercapainya tujuan yang efektif dan efisien.
Mengacu
pada pentingnya budaya organisasi, maka pemakalah mencoba menjelaskan beberapa
paparan yang menyangkut budaya organisasi dan pengembangannya di sekolah.
B. Tujuan
Untuk
mengetahui lebih lanjut lagi mengenai budaya organisasi dan bagaimana
pengembangannya di sekolah serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Sehingga
tercapainya tujuan yang efektif dan efisien.
BAB II
PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI
A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas
dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu
terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini,
dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami
pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa
dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan
manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian,
filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat
tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai
manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya
dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan
statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih
dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan
manusia.Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower
seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas
memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau
berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi.
Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun
menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah
membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi.
Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas,
selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau
biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun
pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi
formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi
dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
Fred Luthan (1995) berpendapat ada enam karakteristik
penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities;
yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati.
Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin
menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms;
yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman
sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu
adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi,
misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau
efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan
yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan
karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan
kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan
keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan
melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara
anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc
Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in-put, budaya organisasi
mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum,
kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi
mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu,
manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out-put, berhubungan
dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi,
image, produk dan sebagainya.
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998)
memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang
kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif.
Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan
adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai
dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai
ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh
bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma
organisasi. Gaya
dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan
akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi
dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh
genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang
merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha
lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang
dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang
dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan
bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin
meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah
“kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya.
Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari
organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya
yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu.
Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan
pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap
kehidupan individu. Para anggota secara aktif
mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan
mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence)
yang dimiliki bersama. Para anggotanya
percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif
masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang
menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk
mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota
ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa
jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu
sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan
memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru.
Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital
Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan
resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak
tingkat dalam hierarki.
B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses
terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan
keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula
dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak.
Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya
organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3)
Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan
dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak
budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya
tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan
bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam
organisasi.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang
tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah
dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai
dan gaya mentor
mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma
budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat
sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun
promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment)
tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun
juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated
di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang
“baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” .
Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih
berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak
perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar
yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin
diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun
melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit
untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard
Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and
Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat
alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan
kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur
kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang
Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate
Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan
budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang
kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi
sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi
berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai
memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi
berkembang pesat.
BAB
III
PENGEMBANGAN
BUDAYA ORGANISASI DI SEKOLAH
A. Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana
telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang
pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum,
penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan
mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan
karakateristik dari para pendukungnya.
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi
pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan,
melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya.
Nilai-nilai
yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada
pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka
setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah.
Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta
perilaku dasarnya.
Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No
|
Nilai
|
Perilaku Dasar
|
1
|
Ilmu Pengetahuan
|
Berfikir
|
2
|
Ekonomi
|
Bekerja
|
3
|
Kesenian
|
Menikmati keindahan
|
4
|
Keagamaan
|
Memuja
|
5
|
Kemasyarakatan
|
Berbakti/berkorban
|
6
|
Politik/kenegaraan
|
Berkuasa/memerintah
|
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi
Kepribadian. Jakarta :
Rajawali.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara
individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan
ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan
kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan
suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota
sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya.
Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
”Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik,
sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja
dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang
sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan
sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar
pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan,
kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS
adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses
belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
B. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama
berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan
kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang
School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi
menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan
motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas
guru.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah
terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah.
Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya
secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna
memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di
sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di
sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai,
keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan
lingkungan belajarnya.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum, penerapan konsep budaya
organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep
budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak
pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para
pendukungnya.
Nilai-nilai yang dikembangkan di
sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri
sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha
mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para
siswanya.
Pentingnya membangun budaya
organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan
pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan
oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC
Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di
sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa
serta kepuasan kerja dan produktivitas guru.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
rekan-rekan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah kami
selanjutnya.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih
DAFTAR PUSTAKA
CarterMcNamara.“Organizational
Culture” The Management Assistance Program for
Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry/culture/culture.htm)
Depdiknas. 2001.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan.
Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Fred Luthan. 1995.
Organizational Behavior. Singapore : McGraw-Hill,Inc.
John P. Kotter. & James L.
Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan).
Jakarta : PT
Prehalindo.
Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996. (http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html
).
Moh. Surya .1995. Nilai-Nilai
Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8
Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,
Sumadi
Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali.
Taliziduhu
Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim.
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua
sehingga dalam kesempatan ini penulis telah dapat meyelesaikan tugas makala
pada mata kuliah ADMINISTRASI DAN SUPERVISI PENDIDIKAN dengan judul BUDAYA
ORGANISASI DAN PENGEMBANGANNYA DI SEKOLAH.
Shalawat
beriring salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW. Semoga di hari kemudian kelak nanti kita mendaparkan syafa’atnya.
Amien…
Terima
kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan
arahan dan pandangan, sehingga penulis lebih terarah dalam pembuatan makalah
ini.
Semoga
tulisan yang singkat ini dapat di terima dan dapat bermanfaat bagi kita
semuanya, hususnya bag penulis sendiri. Penulis manyadari bahwa makalah yang
telah dibuat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis berharap
kepada para pembaca untuk tidak segan-segan menyampaikan kritik maupun saran
demi kesempurnaan makalah ini.
Pekanbaru,
Desember 2009
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................... ………………………………
i
DAFTAR ISI
............................................................... ………………………………
ii
BAB
I PENDAHULUAN
- Latar
Belakang ................................................. ……………………………….
1
- Tujuan
............................................................... ……………………………….
1
BAB II KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
A.
Pengertian Budaya organisasi......................................................................2
B.
Proses Pembentukan Budaya Organisasi…………..…...............................5
BAB III
- Pengembangan
Budaya Organisasi di Sekolah............................................7
- Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di
Sekolah............................9
BAB IV PENTUP
- Kesimpulan................................................................................................10
- Saran...........................................................................................................10
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................11