Rabu, 13 Februari 2013

Struktur Revolusi Ilmiah Thomas Khun


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam literatur filsafat Barat sains merupakan pembahasan yang penting. Mengingat benturan antar teori dan pemikiran sains dari para ilmuan terus bergulir sejak masa renaisance hingga postmodern. Setelah sains bersatu dengan tekhnologi pada pertengahan abad ke-19, ia menjadi kekuatan penting dan sentral dalam perubahan sosial dan budaya bagi masyarakat, ini  dikarenakan daya tarik sains dan tekhnologi yang begitu tersebar luas ke dalam pikiran manusia. Sehingga pengaruhnya telah mewarnai seluruh masyarakat dunia dari Timur  hingga Barat. Efek yang dominan ini dipengaruhi kuat oleh model epistemologi yang berkembang terutama rasionalisme dan empirisisme.
Kecenderungan masyarakat ilmuan untuk menikmati sains yang dirumuskan bersama dengan paradigmanya, ini membuat sebagian ilmuan lainnya merasa ingin tahu yang mendalam, demikian juga yang dialami oleh Thomas Kuhn. Ia melihat adanya ketidakpedulian terhadap sesuatu yang ada dibalik sains itu. Di satu pihak masyarakat hanya menikmati sains dalam skala praktis, di pihak lain para ilmuan menerapkan penelitian dan eksperimennya dengan kadar persepsinya terhadap alam yang menurutnya sudah tepat. Kedua sikap tersebut menuntunnya untuk melakukan sebuah upaya mengungkapkan bahwa sains berkembang tidak bisa lepas dari paradigm para ilmuan. Maka Kuhn ingin mencetuskan apa yang biasa dikenal dengan revolusi ilmiah atau lebih dikenal dengan revolusi sains (science revolution). Dalam tulisan ini kita akan melihat bagaimana revolusi ilmiah/revolusi sains yang dimaksudkannya dan problem yang mengitari fenomena sains saat ini.




BAB II
Struktur Revolusi Ilmiah Thomas Khun

A.      Biografi Singkat Thomas Khun
Thomas Khun lahir pada 18 Juli 1922 di cincinnata, Ohio Amerika Serikat. Pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di Havard University. Di tempat yang sama ia kemudian bekerja sebagai asisten dosen dalam bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu.[1]
Pada tahun 1956, Khun menerima tawaran kerja di Universitas California, bekerja sebagai dosen dalam bidang sejarah sains. Tahun 1964, ia mendapat anugrah gelar Guru Besar (Profesor) dari Princeton University dalam bidang filsafat dan sejarah sains. Selanjutnya pada tahun 1983 ia dianugrahi gelar Profesor untuk kesekian kalinya, kali ini dari Massachusetts Institute of University. Thomas Khun menderita penyakit kanker selama beberapa tahun di akhir masa hidupnya, yang akhirnya meninggal dunia pada hari senin 17 Juni 1996 dalam usia 73 tahun.
Karya Khun cukup banyak, namun yang paling terkenal dan banyak mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuwan pada umumnya adalah The Struktur of Scientific Revolutions, sebuah buku yang terbit pada tahun 1962 oleh University of Chicago Press. Buku itu terjual lebih dari satu juta copy dalam 16 bahasa dan direkomendasikan menjadi bahan bacaan dalam kursus-kursus atau pengajaran yang berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi, riset, dan sejarah serta filsafat sains.[2]

B.       Latar Belakang Pemikiran Khun
Pandangan Khun tentang ilmu dan perkembangannya pada dasarnya merupakan respons terhadap pendangan neo positivisme dan Popper. Proses verifikasi dan konfirmasi-eksperimentasi dari “bahasa ilmiah”, dalam pandangan Vienna Circle,merupakan langkah dan proses perkembangan ilmu, sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang ia sebut ilmu dengan yang bukan ilmu. Sementara pada Popper, proses perkembangan ilmu yang menurutnya harus berkemungkinan mengandung salah itu, adalah denga proses yang  disebut falsifikasi (proses eksperimentasi untuk membuktikan salah dari suatu teori ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori). Dua pandangan ini tampak seperti berbeda, terutama kriteria dari sesuatu yang disebut ilmiah. Namun sebenarnya keduanya memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistik dan karenanya juga objektifistik, yang cendrung memisahkan (dalam arti ada distingsi) antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuan; keduanya juga memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi.[3]
Khun menolak pandangan di atas (pemikiran positivistik-objektifistik) dan proses evolusi, akumulasi, dan eliminasi dalam perkembangan ilmu). Khun memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti sejarah ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Bedanya, Khun lebih mengeksplorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya apakah hakikat ilmu, baik prakteknya yang nyata maupun dalam analisis konkrit dan empiris. Jika Popper menggunakan sejarah ilmu sebagai bukti untuk mempertahankan pendapatnya, Khun justru menngunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Baginya, filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga dapat memahami hakikat ilmu dalam aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
C.      Objektivitas Sains: Paradigma awal
Wacana tentang objektivitas sains menjadi hal yang penting untuk disinggung, karena mengingat masalah ini menjadi pokok sentral dari paradigma ilmuan dalam merumuskan metodologi. Umumnya kalangan positivistik -seperti August Comte- memiliki anggapan bahwa  ilmu itu dapat dicapai secara objektif jika pengetahuan tersebut mampu dibuktikan secara induktif dan berpijak pada metodologi ilmiah yang mampu dibuktikan secara faktual, observasi, eksperimental dan komparasi. Namun, bagi Kuhn setiap ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menciptakan teori tentu ada “paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya, maka seorang ilmuan mustahil bisa menolak subjektifitas individu karena paradigma dalam dirinya menentukan arah sebuah penelitian.
Dalam sains, paradigma  mengandung unsur asumsi dan prediksi tertentu tentang alam yang dimiliki oleh individu ilmuan. Karena itu pemahaman seseorang terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah bisa bersikap “objektif”, kita harus memperhitungkan bahwa ada unsur subjektif dari individu kita. Kuhn menjelasakan:
“Manusia yang berjuang untuk menyelesaikan suatu problem yang didefinisikan oleh pengetahuan dan tekhnik yang ada, tidak hanya melihat sekitarnya. Ia tahu apa yang akan ia capai, dan ia mendesain instrumennya dan mengarahkan pemikirannya sejalan dengan itu.”[4]
Dalam bukunya Kuhn juga mengatakan bahwa evolusi sebuah teori ilmiah tidak muncul dari akumulasi sejumlah fakta-fakta, melainkan dari seperangkat perubahan keadaan dari para intelektual dan kemungkinan yang disimpulkannya. Maka unsur individu ilmuan inklut dalam melahirkan sebuah teori dan konsep praktis.
Selain itu, Kuhn juga menjelaskan secara detail tentang unsur subjektif dalam sains. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya sains adalah model pemecahan masalah menurut paradigma-pradigma tertentu. Alam tidak mungkin menjelaskan dirinya sendiri. Ia tidak memperlihatkan dirinya menurut formula atau persamaan-persamaan matematis. Adalah ilmuan yang memberikan makna terhadap gejala-gejalanya dengan merumuskan bagaimana ia bisa sesuai dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang ada, dan sejauh mana konsep-konsep dan keyakinan tersebut dimodifikasi dan diperluas untuk mengakomodasikannya.
D.      Problem Normal Science
Selain paradigma -seperti yang telah dijelaskan di atas- hal yang terpenting dalam gagasan Thomas Kuhn adalah Revolusi Sains. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, pembahasan utama yaitu mengungkap paradigma yang terjadi dalam teori dan praktik sains normal yang mengharuskan untuk dilakukan sebuah revolusi. Istilah sains normal atau “normal science” bagi Kuhn dimaknai sebagai “penelitian yang berdasarkan pada satu atau lebih temuan sains, yang untuk sementara waktu diakui oleh suatu komunitas ilmiah sebagai temuan yang menjadi fondasi bagi praktik selanjutnya.” Sains normal, kata Kuhn, berdasarkan pada paradigma bersama (shared paradigm), yaitu yang “terikat oleh aturan dan standar yang sama demi praktik keilmuan. Keterikatan atau kesepakatan tersebut adalah pra-syarat bagi normal science, yaitu sebagai tolak ukur awal untuk keberlangsungan sebuah riset. Paradigma sebagai basis utama yang akan mengarahkan sebuah riset dalam masa sains normal.[5]
Aktivitas ilmuan dalam sains normal hanya fokus pada hal-hal yang praktis dan teoritis secara mendalam. Sehingga sikap kritis ilmuan tidak  ada pada wilayah sains normal ini, karena di sini para ilmuan tidak membahas hal-hal yang mendasar.  Makanya, sains normal bagi Kuhn hanyalah sebuah paradigma dari ilmuan yang konservatif – dengan istilah lain ortodok atau fundamentalis- sebab banyak orang yang mempertahankan kredo dan prinsip-prinsip paradigmatiknya tidak peduli dengan apapun.
Selain itu, Kuhn juga menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja didalam pandangan dunia yang sudah mapan.[6] Ilmu bukan merupakan upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku.
Penelitian sains normal berdasarkan paradigma tertentu adalah praktik sains yang menghabiskan banyak waktu kebanyakan para ilmuan. Selama melakukan penelitian tersebut, para ilmuan terikat oleh beberapa hukum, teori, bahasa, hipotesa dari paradigma. Karena itu, dalam penelitian ini memungkinkan muncul kejadian-kejadian yang tak terduga, disebut anomali. Pada mulanya anomali-anomali itu diremehkan dan dianggap sebagai kesalahan peneliti dalam memperaktekkan eksperimen ilmiahnya yang memerlukan ketepatan. Namun, anomali-anomali tersebut muncul berulangkali yang akhirnya mengiring paradigma ilmuan itu kepada krisis. Pemecahan terhadap kondisi krisis ini adalah munculnya paradigma baru dan ditolaknya paradigma lama. Akhirnya, kebanyakan komunitas sains mengalami konversi (perpindahan) kepada paradigma yang baru yang mengantarkan kepada paradigma yang lain, seperti halnya orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain, yaitu suatu periode terbaru dari sains normal. Kejadian ini yang kemudian diistilahkan oleh Kuhn sebagai revolusi sains atau “Saintific Revolution.”[7]
Maka di sini Kuhn mempertegas bahwa perkembangan sains terjadi karena adanya paradigma yang lebih baru dan lebih maju dalam hal revolusi sains. Proses perkembangan tersebut adalah revolusi dari permulaan yang asli – yaitu suatu proses  di mana tingkatan-tingkatannya ditandai oleh pemahaman terhadap alam yang semakin detail dan canggih.

E.       Proses Revolusi Sains
Revolusi sains dapat dianggap sebagai episode perkembangan non-komulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan. Paradigma baru ini lebih memungkinkan menyelesaikan anomali-anomali dari paradigma lama. Pada proses revolusi sains ini, hampir seluruh kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian persolaan, cara berfikir, cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya. Tentu perangkat yang lama yang mungkin masih relevan untuk difungsikan tetap tidak dikesempingkan. Tetapi, jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan seperangkat cara, rumusan dan wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru , yang timbul akibat kemajuan ilmu dan tekhnologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia itu sendiri.[8]
Ia menggambarkan bermulanya revolusi sains secara jelas: “Sains normal sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversif terhadap komitmen dasarnya (namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomali-anomali yang merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada”, maka dimulailah investigasi yang berada di luar kelaziman. Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan secara revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru. Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun apa yang sebelumnya pernah mengalami revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapan dan menjadi ortodoksi baru, dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi. Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma.[9]
Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru, serta jalur-jalur teori dan eksperiment baru yang secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi dengan yang lama. Kebanyakan aktivitas ilmiah, menurut Khun, berlangsung di dalam rubrik “sains normal”, yakni ilmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks, dan yang mensyaratkan agar riset “didasarkan pada suatu pencapaian ilmiah masa silam atau lebih, pencapaian-pencapaian yang diakui sementara waktu oleh komunitas ilmiah tertentu sebagai dasar praktek selanjutnya.”
Ilmu yang restriktif dan bersifat pemecahan masalah secara tertutup memiliki kekurangan maupun kelebihannya. Di satu sisi ia memungkinkan komunitas ilmiah untuk mengumpulkan data berdasarkan suatu basis sistematis dan secara tepat memperluas batas-batas ilmu. Dan di lain pihak, sains normal mengisolasi komunits ilmiah dari segala sesuatu yang berada di luar komunitas itu. Masalah-masalah yang penting secara sosial, yang tidak bisa direduksi menjadi bentuk pemecahan teka-teki akan dikesampingkan, dan apa pun yang berada di luar lingkup konseptual dan instrumental paradigma itu dianggap tidak relevan.
Dalam pemahmannya juga tidak ditemukan kriteria sains secara konkrit yang digambarkannya. Mengingat kriteria masih menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan dalam sains terletak pada paradigma seorang ilmuan, maka yang terpenting menurutnya adalah mengkontruk paradigma ilmuan lebih penting dibandingkan metodologi.


BAB III
PENUTUP

            Revolusi sains yang digagas oleh Thomas Kuhn lebih menekankan pada proses tranformasi paradigma yang lama menuju paradigma yang baru yang lebih mendatangkan sebuah alternatif. Proses-proses yang ia gambarkan dalam perkembangan sains merupakan siklus bagaimana sains normal ternyata mendominasi dari seluruh persoalan sains hingga saat ini, dan paradigma di sini dimainkan oleh kalangan ilmuan yang mendominasi paradigma. Seperti ia sampaikan dalam pembahasan di atas, bahwa umumnya para ilmuan tidak peduli dengan paradigma lain yang berkembang, yang diutamakan adalah bagaimana teori-teori dan konsep mampu diterapkan, jika ditemukan keganjalan mereka cenderung sulit menemukan pemecahan. Makanya disini perlunya sebuah solusi untuk menyelesaikannya dengan menerapkan revolusi sains.
            Cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan secara umum ke dalam tahap-tahap sebagai berikut: tahap pertama, paradigma ilmu membimbimg dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang digunakan sebagai bimbingan aktivitas ilmiahnya, inilah yang dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidak-cocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
            Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal. Tahap ketiga, para ilmuan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Demikianlah dalam pandangan Khun, perkembangan dan kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan evolusi atau akumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Perkembangan ilmu tidak disebabakan oleh dikuatkan dan dibatalkannya suatu teori, tetapi lebih disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma. Paradigma pada dasarnya adalah hasil konstruksi sosial para ilmuan (komunitas ilmiah), yang merupakan seperangkat keyakinan mereka sebagai cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkrit.
Apa yang digagas oleh Thomas Kuhn memang secara konsep lebih menjanjikan, namun penyelesaiannya tetap masih terlihat adanya kesamaan dengan pola positivistik, dia menafikan kebenaran atau kepastian tertinggi di dalam semesta ini. Usaha epistemologis manusia dianggap tidak memiliki tujuan akhir dan tidak mungkin diraih secara objektif. Namun, gagasan dari Kuhn mendapat tempat yang baik dalam pengembangan seluruh disiplin ilmu pengetahuan kotemporer terutama dalam ilmu social-humaniora.



DAFTAR PUSTAKA


Donny Gahral Aldian, Senjakala Metafisika Barat, Koekoesan, Depok, 2012
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005
Tsaqofah “Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam”, 1427 H
Kalimah “Jurnal Studi Agama-agama dan Pemikiran Islam”, 2007
Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn « Towards Islamic Tradition.htm
Http://Revolusi Ilmu Pengetahuan.htm
Http://PARADIGMA DAN REVOLUSI SAINS.htm


[1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal: 110
[2] Ibid, Hal: 111
[3] Ibid
[4] Lihat Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn « Towards Islamic Tradition.htm
[5] Ibid
[6] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu.., Hal: 112
[7] Lihat Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn « Towards Islamic Tradition.htm
[8] Lihat Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn
[9] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu.., Hal: 117

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr


BAB I
PENDAHULUAN

            Kegiatan intelektual Islam telah mati. Begitulah pernyataan yang sering diulang-ulang oleh kalangan orientalis. Setidaknya ada tiga buah dalih yang digunakan kalangan orientalis untuk menyakinkan umat Islam, tentang kemandegan kegiatan intelektual ini. Pertama, isu tentang tertutupnya pintu ijtihad yang telah berlangsung lama sekali sekitar ribuan tahun silam. Kedua, serangan Al-Ghazali terhadap filsafat, ini melalui karyanya yang monumental (Tahafut al-falasifah). Dan ketiga, meninggalnya Ibnu Rusyd, yang dianggap sebagai simbol rasionalisme Islam.
            Apa yang dinyatakan oleh para orientalis ini, bukan saja terkesan sangat objektif, tetapi juga meimiliki dampak yang sangat serius, terutama ini berkenaan dengan perspektif dan penyikapan umat Islam belakangan terhadap dimensi-dimensi intelektual.
Pada satu sisi, gema tertutupnya pintu ijtihad dan serangan-serangan Al-Ghazali terhadap filsafat secara terus-menerus diresonansi, sehingga mampu membungkam setiap potensi intelektual umat Islam yang akan berkembang. Pada sisi lain para orientalis dengan rasa meyakinkan, terutama terhadap kalangan yang sering disebut sebagai cendikiawan Muslim, bahwa intelektualisme barat adalah “pisau” yang paling tajam untuk membedah berbagai persoalan umat manusia.[1]
Ini tidak saja menimbulkam gelombang keawaman dan apatisme intelektual yang merata di kalangan Islam, tetapi juga melahirkan para cendikiawan Muslim, yang dengan pisau analisis serta metodologinya yang baru, mencoba “meletakkan” iman dan transendensi Islam sebatas kebenaran yang bersifat hipotetik. Dampak lain yang lebih besar adalah timbulnya inferioritas peradaban di kalangan Islam, terutama berkenaan dengan dimensi-dimensi intelektual, yang secara terminatif akan mempengaruhi bahkan menghambat perkembangan Islam di masa-masa yang akan datang.
Tetapi benarkah kegiatan intelektual umat Islam telah mandeg? Benarkah pintu ijtihad telah tertutup? Benarkah filsafat islam telah mati karena hantaman Al-Ghazali melalui Tahafut al-falasafah dan meninggalnya Ibnu Rusyd?
Dalam hal ini Seyyed Hossein Nasr dengan berbagai pemikiranya menunjukan bahwa tudingan para orientalis terhadap kegiatan intelektual umat Islam terlalu banyak memiliki cacat dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Makalah ini mencoba menguraikan bagaimana pemikiran Seyyed Hossein Nasr terhadap filsafat Islam sebagai bukti bahwa kegiatan intelektual Islam belum mati dan masih berlangsung hingga saat ini.

BAB II
Seyyed Hossein Nasr

A.      Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islad tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah. Beliau sempat memperoleh pendidikan Barat modern di Institiut Teknologi Massachussets dan Universitas Harvard.[2]
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk at-Thabtaba’I untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal Alquran dan syair-syair klasik Persia.
Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan telah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mempengaruhi negara-negara Musli yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong keinginan Seyyed Hossein Nasr untuk belajar ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler Barat harus masuk ke sarangnya.[3]
Pada usia 13 tahun, Seyyed Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematikan dan fisika di Massachussets di bawah bimbingan seorang guru terkenal yakni Bertrand Russel.
Pada tahun 1954, Seyyed Hossein Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada awalnya ia mengambil jurusan geologi dan geofisika, tetapi kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menekuni bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang bertitik fokus pada ilmu pengetahuan Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed Hossein Nasr belajar sejarah dan pemikiran Islam dari tokoh terkenal lainnya yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton dan sejarah Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson.[4]
Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak pemikiran, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keIslaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal.[5]
Pada tahun 1958, Seyyed Hossein Nasr berhasil merai gelar doktor dengan judul disertasi “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah bimbingan H.A.R. Gibb yang kemudian diterbitkan pada tahun 1964.[6]

B.       Yang Mempengaruhi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sains di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi‟ah.
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perennial. Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam. Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan gelar  padanya sebagai My Master.[7]
Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon. Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.[8]

C.      Gagasan Islam Tradisi Seyyed Hossein Nasr
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yakni tentang tradisi Islam atau Islam tradisional di tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.[9]
Islam tradisional ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam tradisional lebih utuh untuk bisa memandang realitas karena Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan keilahian.
Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari ilahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar pemikiran yang ia bangun.
Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci,menurut nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.
Manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan. Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu.[10] Menurut Nasr, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng, tetap, abadi dan berkesinambungan, sifatnya tidak akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya waktu.[11]

D.      Gagasan Islamisai Seyyed Hossein Nasr
Konsep Islamisasi sains menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri.
Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai Islam.[12]
Semangat pembaharuan (tajdid), ini merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikanIslam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan Renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya.
Suatu renaisanas dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. Namun seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh reformasi” menurut pengertian modernnya yang disebut muslih.
Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.[13]
Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materisaja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri,untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnnya.[14]
BAB III
PENUTUP

Sayyed Hossein Nasr, adalah orang yang telah sekian lama hidup dan akrab dengan dunia modern yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Ia menggelorakan semangat pembaharuan (tajdid), yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur‟an dan al-Hadits. Semangat pembaruan atau tajdid ini kemudian kita yang kenal dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi.
Nasr merupakan figur yang sangat relevan kita ia menggembor-gemborkan tentang tajdid. Nasr merupakan tokoh yang memiliki wawasan yang sangat luas tentang seluk-beluk peradaban modern dengan segala implikasi-implikasi yang bisa ditimbulkannya.Namun demikian, keakraban Nasr dengan alam modern tidak lantas menyebabkan ia tercerabut dari akar peradaban Islam, malah ia lebih menancapkan lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah berhasil menciptakan batasan-batasan antara Islam dan Barat, tradisi dan modernisasi, dan dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan mengambil tempat.
Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala potensi yang telah diberikan Tuhan untuk manusia dan menyadari hakekat keberadaan dirinya di muka bumi ini yaitu untuk beribadah dan menghambakan dirinya pada Tuhan




DAFTAR PUSTAKA

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, diterjemahkan dari Theologhi, Philosophy and Sprituality World Sprituality, oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tsaqofah, Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam 1427 H
http://Islamisasi Seyyed Hossein Nasr.htm


[1]Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, diterjemahkan dari Theologhi, Philosophy and Sprituality World Sprituality, oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal: vi
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ibid
[7]http://Islamisasi Seyyed Hossein Nasr.htm
[8]Ibid
[9]Op,Cit, http://makalahmajannaii.blogspot.com
[10]Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hal: 160
[11]Ibid
[12]http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=167&Itemid=42
[13]http://Islamisasi Seyyed Hossein Nasr.htm
[14]Ibid

Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah SAW


BAB I
PENDAHULUAN

            Hadirnya Nabi Muhammad pada masyarakat Arab membuat terjadinya kristalisasi pengalaman baru dalam dimensi ketuhanan yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk hukum-hukum yang digunakan pada masa itu.
            Berhasilnya Nabi Muhammad SAW dalam memenangkan kepercayaan yang dianut bangsa Arab. Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu memodifikasi jalan hidup orang-orang Arab.
            Sebagaian dari nilai dan budaya Arab pra-islam, dalam beberapa hal diubahnya dan ada pula yang diteruskan oleh masyarakat Nabi Muhammad ke dalam tatanan moral Islam.
            Hadirnya Nabi Muhammad, sedikit demi sedikit merubah budaya-budaya yang tidak memanusiakan manusia dalam artian budaya yang mengarah pada keburukan menjadi budaya-budaya yang mengarah kepada kebaikan dalam payung Islam.
            Budaya-budaya yang mengarah kebaikan yang dibawa Nabi Muhammad pada akhirnya menghasilkan peradaban yang luar biasa pada zamannya. Yang mana muara dari peradaban itu semua ialah Islam.
            Islam sangat berperan penting dalam menciptakan peradaban yang luar biasa yang tercipta pada masa zaman Nabi Muhammad. Dan aktor penting di balik itu semua tidak lain ialah Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad tidak hanya sebagai Nabi melaikan ia juga memerankan sebagai pengajar, pendidik, pemimpin, pemimpin militer, politikus, reformis, dan lain-lain.



BAB II
Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah SAW

A.      Nabi Muhammad SAW
Sebelum kita membahas segala yang berhubungan dengan peradaban pada masa Rasulullah. Ada baiknya kita membahas terlebih dahulu tentang Nabi Muhammad dan kehidupannya. Ini penting untuk kita ketahui karena Nabi Muhammadlah aktor penting di balik terciptanya peradaban islam yang luar biasa itu.
Nabi Muhammad SAW lahir pada tahun gajah, tahun ketika pasukan gajah Abrahah mengalami kehancuran.[1] Peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 570 M (12 Rabiul Awal). Beliau lahir tidak jauh dari ka’bah. Ayahnya Abdullah meninggal dunia ketika beliau masih dalam kandungan, sementara ibunya Aminah wafat sewaktu ia berusia 6 tahun. Kakeknya Abdul Muthalib mengasuhnya selama dua tahun, dan ia diasuh oleh pamannya Abu Thalib.
Merupakan suatu kebiasaan di antara orang-orang kaya dan kaum bangsawan Arab bahwa ibu-ibu mereka mengirimkan anak-anak mereka ke pedesaan untuk diasuh dan dibesarkan disana. Begitu pula Nabi Muhammad, setelah diasuh beberapa lama oleh ibunya, beliau dipercayakan kepada Halimah dari suku Banu Sa’ad untuk diasuh dan dibesarkan.
Nabi Muhammad berada dalam asuhan Halimah hingga beliau berusia 6 tahun, lalu beliau dikembalikan ke ibunya Aminah. Pada saat ibunya membawanya untuk menziarahi makam ayahnya di madinah, ditengah perjalanan, tepatnya di Abwa, ibunya menderita sakit dan menghembuskan nafas yang terakhir di sana. Dengan demikian pada usianya 6 tahun, Nabi Muhammad sudah kehilangan kedua orang tuanya.
Dalam usia muda, Nabi Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk mekah. Melalui kegiatan pengembalaan ini, dia menemukan tempat untuk berpikir dan merenung. Pemikiran dan perenungan ini membuat beliau jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga beliau terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya.
Selain mengembala beliau juga berdagang, ketika beliau tinggal bersama pamannya Abu Thalib, beliau mengikuti pamannya itu berdagang ke negeri Syam, sampai beliau dewasa dan dapat berdiri sendiri. Dalam perjalanan itu, dibushra, sebelah selatan Syria (Syam) ia bertemu dengan pendeta Kristen bernama buhairah. Pendeta itu melihat tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Pendeta itu menasehati Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki Syria, sebab dikhawatirkan orang-orang yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadapnya.[2]
Sebagai seorang pemuda beliau tidak mengikuti kebiasaan masyarakat di kala itu, yaitu minum khamar, berjudi, mengunjungi tempat-tempat hiburan dan menyembah berhala. Beliau sangat populer dikenal sebagai seorang pemaaf, rendah hati, berani, dan jujur, sehingga ia dijuluki Al-Amin.
Ketika Nabi Muhammad berusia 25 tahun, beliau berangkat ke Siria membawa barang dagangan seorang saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini, Nabi Muhammad memperoleh laba yang besar. Khadijah kemudian melamarnya. Lamaran itu diterima dan pernikahanpun segera dilaksanakan. Ketika itu Khadijah berumur 40 tahun.
Dalam perkembangan selanjutnya, Khadijah adalah wanita pertama masuk Islam dan banyak membantu Nabi Muhammad dalam perjuangan menyebarkan Islam. Pernikahan itu dikarunia enam orang anak, dua putra dan empat putri: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kalsum, dan Fatimah. Kedua putranya meninggal waktu kecil. Nabi Muhammad tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal dunia.
B.       Gambaran Umum Dari Sifat Nabi Muhammad SAW
1.      Nabi Muhammad adalah seorang yang mempunyai akhlak yang sempurna
Sungguh Nabi Muhammad adalah ushwatun hasanah. Akhlaknya sebagai contoh bagi pribadi seseorang maunpun masyarakat umum.[3] Akhlak beliau telah begitu mulia semenjak beliau diciptakan atau dilahirkan, sehingga masyarakat menjulukinya sebagai Al-Amin. Tak seorang pun menilai beliau seorang yang pendusta ataupun penghianat.
2.      Jujur
Jujur adalah salah satu akhlak yang wajib dimiliki oleh manusia. Oleh karena itulah Allah SWT berbicara dalam Al-Qur’an tentang sifat ini. Allah SWT berfirman:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qçRqä.ur yìtB šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÊÊÒÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
Ayat diatas sebagai dalil bahwasannya masyarakat muslim wajib mempunyai sifat ini, karena jujur merupakan kunci segala kebaikan.[4] Dan Nabi Muhammad adalah contoh yang sempurna dalam hal ini. Sampai sebelum beliau diutus saja beliau sudah bersifat jujur sehingga masyarakat Arab menjulukinya Al-Amin.
3.      Kasih Sayang
Kasih sayang adalah salah satu dari sifat-sifat Allah SWT. Dan kasih sayang yang sangat besar diberikan Allah SWT kepada umatnya ialah dengan mengutus Nabi Muhammad kepada ummatnya, untuk membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Tidak diragukan lagi bahwasannya Nabi Muhammad juga memiliki sifat kasih sayang, ini dapat dilihat dari bagaimana ia memperlakukan anak kecil, orang-orang yang lemah, para wanita, dan lain-lainnya.
4.      Adil
Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang adil. Ini dapat dilihat dari bagaimana ia menghakimi sebuah perkara dalam masyarakat Islam.
5.      Mulia
Sebagai seorang Nabi, sifat mulia sangatlah melekat di dalam diri Nabi muhammad. Ia merupakan contoh yang sempurna bagi seluruh ummat.
C.      Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Peradaban Islam pada masa Rasulullah SAW yang paling dasyat dan fenomenal adalah perubahan sosial. Suatu perubahan yang mendasar dari masa kebobrokan moral menuju moralitas manusia yang beradab. Peradaban pada masa Rasulullah SAW dilandasi dengan asas-asa yang diciptakan sendiri oleh Rasulullah SAW di bawah bimbingan wahyu yaitu Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Pembangunan Masjid Quba’
Ketika Rasulullah dan para sahabat hijrah menuju Madinah, orang-orang Anshar yang tak lain adalah kaum Aus dan Khazraj menanti dengan antusias kedatangan Rasulullah SAW. Tatkala Rasulullah SAW tiba, mereka keluar rumah dan menyambutnya dengan penuh suka cita. Rasulullah SAW berhenti di Quba’ selama lima hari. Di Quba’ inilah Rasulullah SAW mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba’. Ini adalah masjid pertama yang dibangun setelah masa kenabian.
2.      Pembangunan Masjid Nabawi
Dikisahkan bahwa unta tunggangan Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat. Maka Rasulullah SAW memerintahkan agar di tempat itu dibangun sebuah masjid. Rasulullah ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut. Beliau mengangkat dan memindahkan batu-batu masjid itu dengan tangannya sendiri. Saat itu kiblat dihadapkan ke Baitul Maqdis.[5]
Tatkala pembangunan masjid selesai, Rasulullah memasuki pernikahannya dengan Aisyah pada bulan Syawal. Sejak saat itulah Yatsrib dikenal dengan Madinatur Rasul atau Madinah Al-Munawwarah. Kaum muslimin melakukan berbagai aktivitasnya di dalam masjid ini baik itu beribadah, belajar, memutuskan perkara mereka, berjual beli, dan lain sebagainya. Tempat ini menjadi faktor yang mendekatkan di antara mereka.
3.      Tegaknya Keadilan
Misi Rasulullah SAW yang utama ialah memperbaiki moral dan masyarakat dan menegakkan sebuah sistem kemasyarakatan berlandaskan keadilan yang jauh dari penindasan. Nabi ingin menciptakan suatu masyarakat yang penuh keadilan dan penuh kasih sayang. Ketika Nabi ingin mendirikan masyarakat seperti itu beliau berhadapan dengan musuh-musuh keadilan dan musuh-musuh kasih sayang. Oleh karena itu, keterlibatan Nabi dalam politik hanyalah sejauh menentang ketidak adilan dan kezaliman.[6]
Beliau membuat konstitusi berdasarkan musyawarah dengan orang Yahudi, Nashara, dan orang kafir yang tidak beragama. Semua membangun hidup di kota Madinah. Kalau orang Yahudi diserang, orang lain akan membantu; dan kalau orang Islam diserang, yang lain pun akan membantunya. Madinah menjadi kota pluralitis yang dimiliki oleh berbagai agama.[7]
Satu hal yang terus ditegakkan oleh Nabi di kota Madinah ialah keadilan, termasuk keadilan terhadap golongan lain. Dalam Al-Quran surah Al-maidah disebutkan:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat diatas menunjukakan bahwa perjuangan yang harus dilakukan adalah menegakkan keadilan. Reformasi pertama yang dilakukan Rasulullah SAW adalah merubah masyarakat yang berdasarkan penindasan kepada masyarakat yang berdasarkan keadilan. Salah satu unsur masyarakat yang berdasarkan keadilan adalah masyarakat yang tunduk kepada hukum. Semua orang tunduk kepada hukum; tidak ada orang yang bisa lepas dari ketentuan hukum.
4.      Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin dan Anshar
Rasulullah SAW mempersaudarakan di antara kaum muslimin. Mereka kemudian membagikan rumah yang mereka miliki, bahkan juga istri-istri dan harta mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat dari pada hanya persaudaraan yang berdasarkan keturunan. Dengan persaudaraan ini, Rasulullah SAW telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.
5.      Kesepakatan Untuk Saling Membantu Antara Kaum Muslimin dan Non-Muslimin
Di Madinah ada tiga golongan manusia. Kaum muslimin, orang-orang Arab, serta kaum Non-Muslimin dan orang-orang Yahudi (Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’). Rasulullah SAW melakukan satu kesepakatan dengan mereka untuk terjadinya sebuah keamanan dan kedamaian. Juga untuk melahirkan sebuah suasana saling membantu dan toleransi di antara golongan tersebut.
6.      Terbangunnya Umat Yang Berideologi Islam
Selain mereformasi keadilan, Rasulullah SAW juga mengubah masyarakat dari sistem sosial yang berdasarkan kesukaan, kekeluargaan, dan kelompok menjadi komunitas yang berdasarkan ideologi Islam: dari perasaan kekabilahan ke sebuah sistem yang berdasarkan pada ikatan keislaman atau ukhuwwah islamiyyah. Nabi mengubah masyarakat yang diikat oleh kesetiaan kepada kelompok menjadi masyarakat yang setia kepada Islam: dari kehidupan yang berdasarkan semangat suku dan fanatisme kelompok kepada kehidupan yang didasarkan pada persaudaraan Islam.
Dalam masyarakat Arab zaman jahiliah, orang-orang bergabung tidak dalam suku bangsa, tetapi dalam kabilah atau keluarganya masing-masing. Misalnya, dalam kabilah Bani Kinanah, Bani Quraisy, dan Bani Kilab. Kesetiaan seseorang bergantung pada kabilahnya. Kalau ada tamu datang kepada satu kabilah, tamu itu bukan saja menjadi tamu bagi seseorang, melainkan juga bagi seluruh kabilah itu. Orang yang memusuhi seseorang dalam suatu kabilah, bukan saja menjadi musuh bagi seseorang tersebut, melainkan juga musuh bagi seluruh anggota kabilah itu. Kalau ada orang yang terbunuh di antara mereka, seluruh kabilah akan membelanya. Tidak jadi persoalan apakah orang itu benar atau salah.
Nabi mengajari bangsa Arab untuk meninggalkan seluruh kabilah itu. Mereka harus mencari perlindungan yang satu saja, yaitu Allah SWT. Dengan kedatangan Nabi, semua kabilah yang banyak itu seakan-akan disuruh memilih antara dua kabilah saja, “kabilah” Allah SWT dan kabilah selain AllahSWT.
Al-Qur’an menyebut kabilah selain Allah SWT itu sebagai Thaghut. Allah SWT adalah Maula buat orang-orang mukmin. Dalam surah Muhammad Allah SWT berfirman:
y7Ï9ºsŒ ¨br'Î/ ©!$# n<öqtB tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ¨br&ur tûï͍Ïÿ»s3ø9$# Ÿw 4n<öqtB öNçlm; ÇÊÊÈ  
Artinya: yang demikian itu karena Sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai Pelindung.
Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang yang masuk Islam harus meninggalkan kesetiaan kepada kabilah-kabilah. Kesetian mereka itu harus dipersembahkan kepada satu maula saja yaitu Allah SWT.
Inilah reformasi kedua yang dilakukan oleh Nabi: mengubah masyarakat dari kesetiaan kepada kelompok dan keluarga menjadi kesetiaan kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.
Allah SWT menunjuk Rasul-Nya sebagai wakil Tuhan di bumi ini dan komunitasnya adalah orang-orang beriman. Dasar yang mengikat kesetian kita kepada Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kalimat syahadat: “Asyhadu an la ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”.[8]
7.      Peletakan Asas-asas Politik, Ekonomi, dan Sosial
Islam adalah agama dan sudah sepantasnya jika di dalam negara diletakkan dasar-dasar Islam. Rasulullah SWT dengan segala usahanya telah membentuk  kota Madinah dalam sebuah kehidupan yang mulia dan penuh dengan nilai-nilai utama. Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat di antara anggota masyarakatnya. Dengan demikian, berarti bahwa inilah masyarakat Islam pertama yang dibangun Rasulullah SAW dengan asas-asasnya yang abadi.
Secara sistematik, proses peradaban yang dilakukan oleh Nabi pada masyarakat Islam di Yatsrib adalah: Pertama, Nabi Muhammad SAW mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah (Madinah Ar-Rasul, Madinah An-Nabi, atau Madinah Al-Munawwarah). Perubahan yang bukan terjadi secara kebetulan, tetapi perubahan nama yang menggambarkan cita-cita Nabi Muhammad SAW, yaitu membentuk sebuah masyarakat yang tertib dan maju, dan berperadaban. Kedua, membangun masjid, membangun masjid. Masjid bukan hanya dijadikan pusat kegiatan ritual shalat saja, tetapi juga menjadi sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dengan musyawarah dalam merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Di samping itu, masjid juga menjadi pusat kegiatan pemerintahan. Ketiga, Nabi Muhammad SAW membentuk kegiatan mu’akhat (persaudaran), yaitu mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar. Persaudaraan diharapkan dapat mengikat kaum muslimin dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Nabi Muhammad SAW membentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan seagama, di samping bentuk persaudaraan yang sudah ada sebelumnya, yaitu bentuk persaudaraan berdasarkan darah. Keempat, membentuk persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Dan Kelima, Nabi Muhammad SAW membentuk pasukan tentara untuk mengantisipasi gangguan-gangguan yang dilakukan oleh musuh.[9]
D.      Sisi Lain Dari Rasulullah SAW
1.      Rasulullah SAW Adalah Seorang Reformis
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa misi Rasul yang utama ialah memperbaikai moral masyarakat dan menegakkan sebuah sistem masyarakat yang berlandaskan keadilan. Lalu apa reformasi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW? Reformasi Rasul ialah berupaya untuk menegakkan sebuah sistem masyarakat berdasarkan keadilan. Rasul tidak pernah berteriak-teriak ingin mendirikan negara Islam. Rasul tidak pernah bersabda “marilah kita berjuang mendirikan negara Islam”.
Reformasi yang dilakukan Rasulullah SAW tidak bertujuan membentuk partai atau mendirikan negara Islam. Tujuan reformasi Rasulullah SAW ialah menegakkan keadilan, menentang kezaliman, dan melawan penindasan. Seluruh ajaran Islam yang berkaitan dengan politik tidak ada hubungannya dengan posisi dalam pemerintahan. Kegiatan orang Islam memasuki kegiatan politik hanya untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kezaliman.
Rasulullah SAW adalah seorang reformis yang ideologinya adalah keadilan, dan yang ditentangnya, sampai beliau melakukan peperangan, adalah kezaliman dan penindasan. Itulah reformasi Rasulullah SAW yang pertama, menumbangkan kezaliman dan menegakkan keadilan. Rasulullah SAW meletakkan keadilan di atas segala-galanya.
Reformasi yang kedua yang dilakukan Rasulullah SAW adalah mengubah masyarakat dari sistem sosial yang berdasarkan kesukaan, kekeluargaan dan kelompok menjadi komunitas yang berdasarkan ideologi Islam. Dan ini telah dijabarkan sebelumnya di atas.
2.      Rasulullah SAW Adalah Seorang Pemimpin Politik
Rasulullah SAW adalah pemimpin kaum muslimin secara politik dan militer. Beliaulah yang membawa mereka memetik kemenangan demi kemenangan.
Sukses tidaknya seorang peminpin politik, tergantung pada banyak hal. Seorang pemimpin harus memenuhi hal-hal berikut:[10]
1.      Bisa memahami seluruh sendi gerakan dakwah yang ia pimpin, mempercayai kebenarannya, dan meyakini kemenangannya. Akhlak dan perbuatannya juga harus merupakan cerminan dari apa yang sedang didakwahkan, sehingga, segala perbuatannya bisa mendukung kesuksesan dakwah. Tidak malah membuat celah bagi musuh-musuhnya untuk menyerang.
2.      Mampu menyampaikan dan meyakinkan seluruh ajaran dakwahnya kepada umat secara terus-menerus.
3.      Sanggup membina, mengatur, dan mengarahkan seluruh orang yang mau dan telah menyambut dakwah.
4.      Dapat menciptakan rasa saling percaya antara peminpin dan yang dipimpin.
5.      Mengetahui sisi-sisi kemampuan para pengikutnya.
6.      Dapat menyelesaikan berbagai masalah.
7.      Mempunya pandangan yang luas dan jauh.
8.      Bisa membawa pengikutnya menuju kemenangan.
9.      Teliti dan tepat dalam membangun negara, sebagai wadah politiknya, sehingga wadah itu bisa selalu berkembang, dan bertahan dalam waktu yang lama.
Demikainlah kiranya, ciri-ciri kesuksesan seorang pemimpin politik. Dalam sejarah, tidak ada yang sesempurna Nabi Muhammad SAW. Kesempurnaan beliau, dalam hal ini merupakan satu bagian kesempurnaan beliau yang banyak. Kesempurnaan, kesuksesan, kemenangan, keistiqomahan langkahnya dan datangnya dukungan dari Allah SWT, adalah bukti bahwa beliau benar-benar utusan Allah SWT, yang mendapat pembinaan dan perlindungan langsung dari Allah SWT. 




BAB III
PENUTUP

            Rasulullah SAW dengan segala kesempurnaannya telah mampu menciptakan sebauh negara yang berlandaskan Islam. Tentu ini tidak diraih dengan mudahnya, butuh perjuangan yang banyak dan sangat dari Rasulullah SAW sendiri dan juga para kaum muslimin saat itu.
            Begitu dasyat perjuangan yang dilakukan Rasulullah SAW dan para kaum muslimin dalam menciptakan sebuah peradaban yang berlandaskan Islam ini. Meskipun pada hakikatnya ini bukanlah tujuan dari diutusnya Rasulullah SAW, melaikan ialah untuk menyempurnakan Akhlak umatnya. Namun secara tidak langsung dari usaha membentuk penyempurnaan akhlak itu tercipta lah manusia yang bermoral dan berideologikan Islam dengan segala substansinya. Dan hasil akhir dari usaha itu adalah terwujudnya suatu peradaban yang bermoral di dalam masyarakat yang berlandaskan Islam.
            Dari apa yang diuraikan diatas dapatlah kiranya kita mengambil ikhtibar dalam perjalanan membentuk suatu masyarakat yang bermoral. Sebuah usaha bagaimana memanusiakan manusia, menciptakan keadailan di segala lini kehidupan yang berdasarkan hukum yang jelas, serta membangun umat yang berideologikan Islam. Semua dapat kita contoh dari apa yang dilakukan Rasulullah SAW kepada umatnya dalam kurun waktu dakwahnya baik itu ketika di Mekah maupun Madinah.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam “Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX”, Diterjemahkan Oleh H. Samson Rahman, Cetakan Kelima, Akbar, Jakarta, 2007
Amru Kholid, Inny Jailun Fil Ardhi Khalifah, Darul Ma’rifah, Beirut-Lebanon, 2006
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Dr. Raghib Sarjani, Ushwatun Lil’alamin, Cetakan Kedua, Aqlam Lin-Nasyri Wat-Tauzi’ Wat-Tarjamah, Kairo, 2011
Imam Jalaluddin Ab-Durahman, Tarikh Khulafa, Darul Kita Ilmiah, Lebanon, 2008
Jalaluddin Rakhmat, The Road To Muhammad, Mizan, Bandung, 2009
Said Hawwa, Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, Diterjemahkan Oleh Abdul Hayyie Al-Katani DKK, Gema Insani Press, 2003
Syamruddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, Pusaka Riau, Pekanbaru
Tarikh Islam, Maktabah Syamilah


[1] Tarikh Islam, Maktabah Syamilah
[2] Syamruddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, Pusaka Riau, Pekanbaru, Hal: 12-13
[3] Dr. Raghib Sarjani, Ushwatun Lil’alamin, Cetakan Kedua, Aqlam Lin-Nasyri Wat-Tauzi’ Wat-Tarjamah, Kairo, 2011, Hal: 17
[4] Ibid, Hal: 21
[5] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam “Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX”, Diterjemahkan Oleh H. Samson Rahman, Cetakan Kelima, Akbar, Jakarta, 2007, Hal: 105
[6] Jalaluddin Rakhmat, The Road To Muhammad, Mizan, Bandung, 2009, Hal: 79
[7] Ibid, Hal: 80
[8] Ibid, Hal: 90
[9] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008, Hal: 64
[10] Said Hawwa, Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, Diterjemahkan Oleh Abdul Hayyie Al-Katani DKK, Gema Insani Press, 2003, Hal: 199-200