RASIONALISME
Dalam
pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah
tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad
ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan
Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada
pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Paham
ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar
oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang
ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia
dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada
prinsip-prinsip ini.[1]
Prinsip-prinsip
tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain
adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa
diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:[2]
- Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk
yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat
saya.
- Tuhan
merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti
ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak
bisa melebihi penyebabnya.
- Keluasaan; saya mengerti materi sebagai
keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari
oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai
dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan
tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz
mengajarkan bahwa ilmu alam adalah
perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal
melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan
penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis
Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran
pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis
pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran
abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua; pengetahuan yang didasari oleh
observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Paham
Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio.
Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia
harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat
memperolah ilmu pengetahuan. Rasio itu
adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan
manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak
manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat.
Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya.
Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai
dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
Namun
demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata.
Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan
dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian,
seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia
ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan
bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada
kesempunaan.
Prof.
Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas
rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan
berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan
kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami
yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan
positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah
berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan
diri.
Karena
pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal
unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang
lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya
manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin,
yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata
logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan
berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata
pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.
EMPIRISME
Secara
epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang
artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley,
dan yang terpenting adalah David Hume.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan
bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman
sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman
batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi
sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari
semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang
sama, dengan cara yang berlainan.[3]
Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan
merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum
mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis
pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan
oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan
pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori
emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran
rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang
teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang
sebagai bawaan manusia.[4]
Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari
itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat.
Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain
hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu
yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi
dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang
timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah.
Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita.
Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam
diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi
pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”.
Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan.
Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya
kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur
tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan.
Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang
apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat
itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi
gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel”
atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika
seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta
dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan
gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhmidayeli,
Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011
Muslih
Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005
Sudarsono,
Ilmu Filsafat: suatu pengantar, cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta,
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar