Rabu, 13 Februari 2013

Struktur Revolusi Ilmiah Thomas Khun


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam literatur filsafat Barat sains merupakan pembahasan yang penting. Mengingat benturan antar teori dan pemikiran sains dari para ilmuan terus bergulir sejak masa renaisance hingga postmodern. Setelah sains bersatu dengan tekhnologi pada pertengahan abad ke-19, ia menjadi kekuatan penting dan sentral dalam perubahan sosial dan budaya bagi masyarakat, ini  dikarenakan daya tarik sains dan tekhnologi yang begitu tersebar luas ke dalam pikiran manusia. Sehingga pengaruhnya telah mewarnai seluruh masyarakat dunia dari Timur  hingga Barat. Efek yang dominan ini dipengaruhi kuat oleh model epistemologi yang berkembang terutama rasionalisme dan empirisisme.
Kecenderungan masyarakat ilmuan untuk menikmati sains yang dirumuskan bersama dengan paradigmanya, ini membuat sebagian ilmuan lainnya merasa ingin tahu yang mendalam, demikian juga yang dialami oleh Thomas Kuhn. Ia melihat adanya ketidakpedulian terhadap sesuatu yang ada dibalik sains itu. Di satu pihak masyarakat hanya menikmati sains dalam skala praktis, di pihak lain para ilmuan menerapkan penelitian dan eksperimennya dengan kadar persepsinya terhadap alam yang menurutnya sudah tepat. Kedua sikap tersebut menuntunnya untuk melakukan sebuah upaya mengungkapkan bahwa sains berkembang tidak bisa lepas dari paradigm para ilmuan. Maka Kuhn ingin mencetuskan apa yang biasa dikenal dengan revolusi ilmiah atau lebih dikenal dengan revolusi sains (science revolution). Dalam tulisan ini kita akan melihat bagaimana revolusi ilmiah/revolusi sains yang dimaksudkannya dan problem yang mengitari fenomena sains saat ini.




BAB II
Struktur Revolusi Ilmiah Thomas Khun

A.      Biografi Singkat Thomas Khun
Thomas Khun lahir pada 18 Juli 1922 di cincinnata, Ohio Amerika Serikat. Pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di Havard University. Di tempat yang sama ia kemudian bekerja sebagai asisten dosen dalam bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu.[1]
Pada tahun 1956, Khun menerima tawaran kerja di Universitas California, bekerja sebagai dosen dalam bidang sejarah sains. Tahun 1964, ia mendapat anugrah gelar Guru Besar (Profesor) dari Princeton University dalam bidang filsafat dan sejarah sains. Selanjutnya pada tahun 1983 ia dianugrahi gelar Profesor untuk kesekian kalinya, kali ini dari Massachusetts Institute of University. Thomas Khun menderita penyakit kanker selama beberapa tahun di akhir masa hidupnya, yang akhirnya meninggal dunia pada hari senin 17 Juni 1996 dalam usia 73 tahun.
Karya Khun cukup banyak, namun yang paling terkenal dan banyak mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuwan pada umumnya adalah The Struktur of Scientific Revolutions, sebuah buku yang terbit pada tahun 1962 oleh University of Chicago Press. Buku itu terjual lebih dari satu juta copy dalam 16 bahasa dan direkomendasikan menjadi bahan bacaan dalam kursus-kursus atau pengajaran yang berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi, riset, dan sejarah serta filsafat sains.[2]

B.       Latar Belakang Pemikiran Khun
Pandangan Khun tentang ilmu dan perkembangannya pada dasarnya merupakan respons terhadap pendangan neo positivisme dan Popper. Proses verifikasi dan konfirmasi-eksperimentasi dari “bahasa ilmiah”, dalam pandangan Vienna Circle,merupakan langkah dan proses perkembangan ilmu, sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang ia sebut ilmu dengan yang bukan ilmu. Sementara pada Popper, proses perkembangan ilmu yang menurutnya harus berkemungkinan mengandung salah itu, adalah denga proses yang  disebut falsifikasi (proses eksperimentasi untuk membuktikan salah dari suatu teori ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori). Dua pandangan ini tampak seperti berbeda, terutama kriteria dari sesuatu yang disebut ilmiah. Namun sebenarnya keduanya memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistik dan karenanya juga objektifistik, yang cendrung memisahkan (dalam arti ada distingsi) antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuan; keduanya juga memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi.[3]
Khun menolak pandangan di atas (pemikiran positivistik-objektifistik) dan proses evolusi, akumulasi, dan eliminasi dalam perkembangan ilmu). Khun memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti sejarah ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Bedanya, Khun lebih mengeksplorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya apakah hakikat ilmu, baik prakteknya yang nyata maupun dalam analisis konkrit dan empiris. Jika Popper menggunakan sejarah ilmu sebagai bukti untuk mempertahankan pendapatnya, Khun justru menngunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Baginya, filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga dapat memahami hakikat ilmu dalam aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
C.      Objektivitas Sains: Paradigma awal
Wacana tentang objektivitas sains menjadi hal yang penting untuk disinggung, karena mengingat masalah ini menjadi pokok sentral dari paradigma ilmuan dalam merumuskan metodologi. Umumnya kalangan positivistik -seperti August Comte- memiliki anggapan bahwa  ilmu itu dapat dicapai secara objektif jika pengetahuan tersebut mampu dibuktikan secara induktif dan berpijak pada metodologi ilmiah yang mampu dibuktikan secara faktual, observasi, eksperimental dan komparasi. Namun, bagi Kuhn setiap ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menciptakan teori tentu ada “paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya, maka seorang ilmuan mustahil bisa menolak subjektifitas individu karena paradigma dalam dirinya menentukan arah sebuah penelitian.
Dalam sains, paradigma  mengandung unsur asumsi dan prediksi tertentu tentang alam yang dimiliki oleh individu ilmuan. Karena itu pemahaman seseorang terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah bisa bersikap “objektif”, kita harus memperhitungkan bahwa ada unsur subjektif dari individu kita. Kuhn menjelasakan:
“Manusia yang berjuang untuk menyelesaikan suatu problem yang didefinisikan oleh pengetahuan dan tekhnik yang ada, tidak hanya melihat sekitarnya. Ia tahu apa yang akan ia capai, dan ia mendesain instrumennya dan mengarahkan pemikirannya sejalan dengan itu.”[4]
Dalam bukunya Kuhn juga mengatakan bahwa evolusi sebuah teori ilmiah tidak muncul dari akumulasi sejumlah fakta-fakta, melainkan dari seperangkat perubahan keadaan dari para intelektual dan kemungkinan yang disimpulkannya. Maka unsur individu ilmuan inklut dalam melahirkan sebuah teori dan konsep praktis.
Selain itu, Kuhn juga menjelaskan secara detail tentang unsur subjektif dalam sains. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya sains adalah model pemecahan masalah menurut paradigma-pradigma tertentu. Alam tidak mungkin menjelaskan dirinya sendiri. Ia tidak memperlihatkan dirinya menurut formula atau persamaan-persamaan matematis. Adalah ilmuan yang memberikan makna terhadap gejala-gejalanya dengan merumuskan bagaimana ia bisa sesuai dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang ada, dan sejauh mana konsep-konsep dan keyakinan tersebut dimodifikasi dan diperluas untuk mengakomodasikannya.
D.      Problem Normal Science
Selain paradigma -seperti yang telah dijelaskan di atas- hal yang terpenting dalam gagasan Thomas Kuhn adalah Revolusi Sains. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, pembahasan utama yaitu mengungkap paradigma yang terjadi dalam teori dan praktik sains normal yang mengharuskan untuk dilakukan sebuah revolusi. Istilah sains normal atau “normal science” bagi Kuhn dimaknai sebagai “penelitian yang berdasarkan pada satu atau lebih temuan sains, yang untuk sementara waktu diakui oleh suatu komunitas ilmiah sebagai temuan yang menjadi fondasi bagi praktik selanjutnya.” Sains normal, kata Kuhn, berdasarkan pada paradigma bersama (shared paradigm), yaitu yang “terikat oleh aturan dan standar yang sama demi praktik keilmuan. Keterikatan atau kesepakatan tersebut adalah pra-syarat bagi normal science, yaitu sebagai tolak ukur awal untuk keberlangsungan sebuah riset. Paradigma sebagai basis utama yang akan mengarahkan sebuah riset dalam masa sains normal.[5]
Aktivitas ilmuan dalam sains normal hanya fokus pada hal-hal yang praktis dan teoritis secara mendalam. Sehingga sikap kritis ilmuan tidak  ada pada wilayah sains normal ini, karena di sini para ilmuan tidak membahas hal-hal yang mendasar.  Makanya, sains normal bagi Kuhn hanyalah sebuah paradigma dari ilmuan yang konservatif – dengan istilah lain ortodok atau fundamentalis- sebab banyak orang yang mempertahankan kredo dan prinsip-prinsip paradigmatiknya tidak peduli dengan apapun.
Selain itu, Kuhn juga menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja didalam pandangan dunia yang sudah mapan.[6] Ilmu bukan merupakan upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku.
Penelitian sains normal berdasarkan paradigma tertentu adalah praktik sains yang menghabiskan banyak waktu kebanyakan para ilmuan. Selama melakukan penelitian tersebut, para ilmuan terikat oleh beberapa hukum, teori, bahasa, hipotesa dari paradigma. Karena itu, dalam penelitian ini memungkinkan muncul kejadian-kejadian yang tak terduga, disebut anomali. Pada mulanya anomali-anomali itu diremehkan dan dianggap sebagai kesalahan peneliti dalam memperaktekkan eksperimen ilmiahnya yang memerlukan ketepatan. Namun, anomali-anomali tersebut muncul berulangkali yang akhirnya mengiring paradigma ilmuan itu kepada krisis. Pemecahan terhadap kondisi krisis ini adalah munculnya paradigma baru dan ditolaknya paradigma lama. Akhirnya, kebanyakan komunitas sains mengalami konversi (perpindahan) kepada paradigma yang baru yang mengantarkan kepada paradigma yang lain, seperti halnya orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain, yaitu suatu periode terbaru dari sains normal. Kejadian ini yang kemudian diistilahkan oleh Kuhn sebagai revolusi sains atau “Saintific Revolution.”[7]
Maka di sini Kuhn mempertegas bahwa perkembangan sains terjadi karena adanya paradigma yang lebih baru dan lebih maju dalam hal revolusi sains. Proses perkembangan tersebut adalah revolusi dari permulaan yang asli – yaitu suatu proses  di mana tingkatan-tingkatannya ditandai oleh pemahaman terhadap alam yang semakin detail dan canggih.

E.       Proses Revolusi Sains
Revolusi sains dapat dianggap sebagai episode perkembangan non-komulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan. Paradigma baru ini lebih memungkinkan menyelesaikan anomali-anomali dari paradigma lama. Pada proses revolusi sains ini, hampir seluruh kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian persolaan, cara berfikir, cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya. Tentu perangkat yang lama yang mungkin masih relevan untuk difungsikan tetap tidak dikesempingkan. Tetapi, jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan seperangkat cara, rumusan dan wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru , yang timbul akibat kemajuan ilmu dan tekhnologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia itu sendiri.[8]
Ia menggambarkan bermulanya revolusi sains secara jelas: “Sains normal sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversif terhadap komitmen dasarnya (namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomali-anomali yang merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada”, maka dimulailah investigasi yang berada di luar kelaziman. Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan secara revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru. Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun apa yang sebelumnya pernah mengalami revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapan dan menjadi ortodoksi baru, dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi. Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma.[9]
Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru, serta jalur-jalur teori dan eksperiment baru yang secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi dengan yang lama. Kebanyakan aktivitas ilmiah, menurut Khun, berlangsung di dalam rubrik “sains normal”, yakni ilmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks, dan yang mensyaratkan agar riset “didasarkan pada suatu pencapaian ilmiah masa silam atau lebih, pencapaian-pencapaian yang diakui sementara waktu oleh komunitas ilmiah tertentu sebagai dasar praktek selanjutnya.”
Ilmu yang restriktif dan bersifat pemecahan masalah secara tertutup memiliki kekurangan maupun kelebihannya. Di satu sisi ia memungkinkan komunitas ilmiah untuk mengumpulkan data berdasarkan suatu basis sistematis dan secara tepat memperluas batas-batas ilmu. Dan di lain pihak, sains normal mengisolasi komunits ilmiah dari segala sesuatu yang berada di luar komunitas itu. Masalah-masalah yang penting secara sosial, yang tidak bisa direduksi menjadi bentuk pemecahan teka-teki akan dikesampingkan, dan apa pun yang berada di luar lingkup konseptual dan instrumental paradigma itu dianggap tidak relevan.
Dalam pemahmannya juga tidak ditemukan kriteria sains secara konkrit yang digambarkannya. Mengingat kriteria masih menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan dalam sains terletak pada paradigma seorang ilmuan, maka yang terpenting menurutnya adalah mengkontruk paradigma ilmuan lebih penting dibandingkan metodologi.


BAB III
PENUTUP

            Revolusi sains yang digagas oleh Thomas Kuhn lebih menekankan pada proses tranformasi paradigma yang lama menuju paradigma yang baru yang lebih mendatangkan sebuah alternatif. Proses-proses yang ia gambarkan dalam perkembangan sains merupakan siklus bagaimana sains normal ternyata mendominasi dari seluruh persoalan sains hingga saat ini, dan paradigma di sini dimainkan oleh kalangan ilmuan yang mendominasi paradigma. Seperti ia sampaikan dalam pembahasan di atas, bahwa umumnya para ilmuan tidak peduli dengan paradigma lain yang berkembang, yang diutamakan adalah bagaimana teori-teori dan konsep mampu diterapkan, jika ditemukan keganjalan mereka cenderung sulit menemukan pemecahan. Makanya disini perlunya sebuah solusi untuk menyelesaikannya dengan menerapkan revolusi sains.
            Cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan secara umum ke dalam tahap-tahap sebagai berikut: tahap pertama, paradigma ilmu membimbimg dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang digunakan sebagai bimbingan aktivitas ilmiahnya, inilah yang dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidak-cocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
            Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal. Tahap ketiga, para ilmuan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Demikianlah dalam pandangan Khun, perkembangan dan kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan evolusi atau akumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Perkembangan ilmu tidak disebabakan oleh dikuatkan dan dibatalkannya suatu teori, tetapi lebih disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma. Paradigma pada dasarnya adalah hasil konstruksi sosial para ilmuan (komunitas ilmiah), yang merupakan seperangkat keyakinan mereka sebagai cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkrit.
Apa yang digagas oleh Thomas Kuhn memang secara konsep lebih menjanjikan, namun penyelesaiannya tetap masih terlihat adanya kesamaan dengan pola positivistik, dia menafikan kebenaran atau kepastian tertinggi di dalam semesta ini. Usaha epistemologis manusia dianggap tidak memiliki tujuan akhir dan tidak mungkin diraih secara objektif. Namun, gagasan dari Kuhn mendapat tempat yang baik dalam pengembangan seluruh disiplin ilmu pengetahuan kotemporer terutama dalam ilmu social-humaniora.



DAFTAR PUSTAKA


Donny Gahral Aldian, Senjakala Metafisika Barat, Koekoesan, Depok, 2012
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005
Tsaqofah “Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam”, 1427 H
Kalimah “Jurnal Studi Agama-agama dan Pemikiran Islam”, 2007
Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn « Towards Islamic Tradition.htm
Http://Revolusi Ilmu Pengetahuan.htm
Http://PARADIGMA DAN REVOLUSI SAINS.htm


[1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal: 110
[2] Ibid, Hal: 111
[3] Ibid
[4] Lihat Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn « Towards Islamic Tradition.htm
[5] Ibid
[6] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu.., Hal: 112
[7] Lihat Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn « Towards Islamic Tradition.htm
[8] Lihat Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn
[9] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu.., Hal: 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar