BAB I
PENDAHULUAN
Dalam literatur filsafat
Barat sains merupakan pembahasan yang penting. Mengingat benturan antar teori
dan pemikiran sains dari para ilmuan terus bergulir sejak masa renaisance hingga postmodern. Setelah sains bersatu dengan
tekhnologi pada pertengahan abad ke-19, ia menjadi kekuatan penting dan sentral
dalam perubahan sosial dan budaya bagi masyarakat, ini dikarenakan daya tarik sains dan tekhnologi yang
begitu tersebar luas ke dalam pikiran manusia. Sehingga pengaruhnya telah
mewarnai seluruh masyarakat dunia dari Timur hingga Barat. Efek yang
dominan ini dipengaruhi kuat oleh model epistemologi yang berkembang terutama
rasionalisme dan empirisisme.
Kecenderungan
masyarakat ilmuan untuk menikmati sains yang dirumuskan bersama dengan paradigmanya,
ini membuat sebagian ilmuan lainnya merasa
ingin tahu yang mendalam, demikian juga yang dialami oleh Thomas Kuhn. Ia melihat adanya ketidakpedulian terhadap
sesuatu yang ada dibalik sains itu. Di satu pihak masyarakat hanya menikmati
sains dalam skala praktis, di pihak lain para ilmuan menerapkan penelitian dan
eksperimennya dengan kadar persepsinya terhadap alam yang menurutnya sudah
tepat. Kedua sikap tersebut menuntunnya untuk melakukan sebuah upaya
mengungkapkan bahwa sains berkembang tidak bisa lepas dari paradigm para
ilmuan. Maka Kuhn ingin mencetuskan apa yang biasa dikenal dengan revolusi ilmiah atau lebih dikenal dengan
revolusi sains (science revolution). Dalam tulisan ini kita akan
melihat bagaimana revolusi ilmiah/revolusi sains yang
dimaksudkannya dan problem yang mengitari fenomena sains saat ini.
BAB II
Struktur Revolusi Ilmiah Thomas Khun
A.
Biografi
Singkat Thomas Khun
Thomas Khun lahir pada 18 Juli 1922 di cincinnata, Ohio
Amerika Serikat. Pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D dalam bidang ilmu
fisika di Havard University. Di tempat yang sama ia kemudian bekerja sebagai
asisten dosen dalam bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu.[1]
Pada tahun 1956, Khun menerima tawaran kerja di
Universitas California, bekerja sebagai dosen dalam bidang sejarah sains. Tahun
1964, ia mendapat anugrah gelar Guru Besar (Profesor) dari Princeton University
dalam bidang filsafat dan sejarah sains. Selanjutnya pada tahun 1983 ia
dianugrahi gelar Profesor untuk kesekian kalinya, kali ini dari Massachusetts
Institute of University. Thomas Khun menderita penyakit kanker selama beberapa
tahun di akhir masa hidupnya, yang akhirnya meninggal dunia pada hari senin 17
Juni 1996 dalam usia 73 tahun.
Karya Khun cukup banyak, namun yang paling terkenal dan
banyak mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuwan pada umumnya adalah The
Struktur of Scientific Revolutions, sebuah buku yang terbit pada tahun 1962
oleh University of Chicago Press. Buku itu terjual lebih dari satu juta copy
dalam 16 bahasa dan direkomendasikan menjadi bahan bacaan dalam kursus-kursus
atau pengajaran yang berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi, riset,
dan sejarah serta filsafat sains.[2]
B.
Latar
Belakang Pemikiran Khun
Pandangan Khun tentang ilmu dan perkembangannya
pada dasarnya merupakan respons terhadap pendangan neo positivisme dan Popper.
Proses verifikasi dan konfirmasi-eksperimentasi dari “bahasa ilmiah”, dalam
pandangan Vienna Circle,merupakan langkah dan proses perkembangan ilmu,
sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang ia sebut ilmu dengan yang bukan
ilmu. Sementara pada Popper, proses perkembangan ilmu yang menurutnya harus
berkemungkinan mengandung salah itu, adalah denga proses yang disebut falsifikasi (proses eksperimentasi
untuk membuktikan salah dari suatu teori ilmu) dan refutasi (penyangkalan
teori). Dua pandangan ini tampak seperti berbeda, terutama kriteria dari
sesuatu yang disebut ilmiah. Namun sebenarnya keduanya memiliki persamaan,
bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistik dan
karenanya juga objektifistik, yang cendrung memisahkan (dalam arti ada
distingsi) antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuan; keduanya juga
memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan
eliminasi.[3]
Khun menolak pandangan di atas (pemikiran
positivistik-objektifistik) dan proses evolusi, akumulasi, dan eliminasi dalam
perkembangan ilmu). Khun memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti
sejarah ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Bedanya, Khun
lebih mengeksplorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya apakah hakikat ilmu,
baik prakteknya yang nyata maupun dalam analisis konkrit dan empiris. Jika
Popper menggunakan sejarah ilmu sebagai bukti untuk mempertahankan pendapatnya,
Khun justru menngunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya.
Baginya, filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga dapat
memahami hakikat ilmu dalam aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
C. Objektivitas Sains: Paradigma
awal
Wacana tentang objektivitas sains menjadi hal yang penting
untuk disinggung, karena mengingat masalah ini menjadi pokok sentral dari
paradigma ilmuan dalam merumuskan metodologi. Umumnya kalangan
positivistik -seperti August Comte- memiliki anggapan bahwa ilmu itu
dapat dicapai secara objektif jika pengetahuan tersebut mampu dibuktikan secara
induktif dan berpijak pada metodologi ilmiah yang mampu dibuktikan secara
faktual, observasi, eksperimental dan komparasi. Namun, bagi Kuhn setiap ilmuwan dalam
meneliti sesuatu dan menciptakan teori tentu ada “paradigma” yang mendasari
proses dalam penelitiannya, maka seorang ilmuan mustahil bisa menolak
subjektifitas individu karena paradigma dalam dirinya menentukan arah sebuah
penelitian.
Dalam sains, paradigma mengandung
unsur asumsi dan prediksi tertentu tentang alam yang dimiliki oleh individu
ilmuan. Karena itu pemahaman seseorang terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah
bisa bersikap “objektif”, kita harus memperhitungkan bahwa ada unsur subjektif
dari individu kita. Kuhn menjelasakan:
“Manusia yang berjuang untuk menyelesaikan suatu problem
yang didefinisikan oleh pengetahuan dan tekhnik yang ada, tidak hanya melihat
sekitarnya. Ia tahu apa yang akan ia capai, dan ia mendesain instrumennya dan
mengarahkan pemikirannya sejalan dengan itu.”[4]
Dalam bukunya Kuhn juga
mengatakan bahwa evolusi sebuah teori ilmiah tidak muncul dari akumulasi
sejumlah fakta-fakta, melainkan dari seperangkat perubahan keadaan dari para
intelektual dan kemungkinan yang disimpulkannya. Maka unsur individu ilmuan inklut dalam melahirkan sebuah teori dan
konsep praktis.
Selain itu, Kuhn juga menjelaskan secara detail tentang
unsur subjektif dalam sains. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya sains adalah
model pemecahan masalah menurut paradigma-pradigma tertentu. Alam tidak mungkin
menjelaskan dirinya sendiri. Ia tidak memperlihatkan dirinya menurut formula atau persamaan-persamaan matematis. Adalah
ilmuan yang memberikan makna terhadap gejala-gejalanya dengan merumuskan
bagaimana ia bisa sesuai dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang ada,
dan sejauh mana konsep-konsep dan keyakinan tersebut dimodifikasi dan diperluas
untuk mengakomodasikannya.
D. Problem Normal Science
Selain paradigma -seperti yang telah dijelaskan di atas-
hal yang terpenting dalam gagasan Thomas Kuhn adalah Revolusi Sains. Dalam
bukunya The Structure of Scientific Revolutions, pembahasan utama
yaitu mengungkap paradigma yang terjadi dalam teori dan praktik sains normal
yang mengharuskan untuk dilakukan sebuah revolusi. Istilah sains normal atau “normal
science” bagi Kuhn dimaknai sebagai “penelitian yang berdasarkan pada satu
atau lebih temuan sains, yang untuk sementara waktu diakui oleh suatu komunitas
ilmiah sebagai temuan yang menjadi fondasi bagi praktik selanjutnya.” Sains
normal, kata Kuhn, berdasarkan pada paradigma bersama (shared paradigm),
yaitu yang “terikat oleh aturan dan standar yang sama demi praktik keilmuan.
Keterikatan atau kesepakatan tersebut adalah pra-syarat bagi normal
science, yaitu sebagai tolak ukur awal untuk keberlangsungan sebuah riset.
Paradigma sebagai basis utama yang akan mengarahkan sebuah riset dalam masa
sains normal.[5]
Aktivitas ilmuan dalam sains normal hanya fokus pada
hal-hal yang praktis dan teoritis secara mendalam. Sehingga sikap kritis ilmuan
tidak ada pada wilayah sains normal ini, karena di sini para ilmuan tidak
membahas hal-hal yang mendasar. Makanya, sains normal bagi Kuhn hanyalah
sebuah paradigma dari ilmuan yang konservatif – dengan istilah lain ortodok
atau fundamentalis- sebab banyak orang yang mempertahankan kredo dan
prinsip-prinsip paradigmatiknya tidak peduli dengan apapun.
Selain itu, Kuhn juga menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah
para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru.
Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja didalam pandangan dunia
yang sudah mapan.[6]
Ilmu bukan merupakan upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran,
melainkan lebih menyerupai upaya pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan
yang telah berlaku.
Penelitian sains normal berdasarkan paradigma tertentu
adalah praktik sains yang menghabiskan banyak waktu kebanyakan para ilmuan.
Selama melakukan penelitian tersebut, para ilmuan terikat oleh beberapa hukum,
teori, bahasa, hipotesa dari paradigma. Karena itu, dalam penelitian ini
memungkinkan muncul kejadian-kejadian yang tak terduga, disebut anomali. Pada
mulanya anomali-anomali itu diremehkan dan dianggap sebagai kesalahan peneliti
dalam memperaktekkan eksperimen ilmiahnya yang memerlukan ketepatan. Namun,
anomali-anomali tersebut muncul berulangkali yang akhirnya mengiring paradigma
ilmuan itu kepada krisis. Pemecahan terhadap kondisi krisis ini adalah
munculnya paradigma baru dan ditolaknya paradigma lama. Akhirnya, kebanyakan komunitas sains mengalami konversi (perpindahan)
kepada paradigma yang baru yang mengantarkan kepada paradigma yang lain, seperti halnya orang yang berpindah dari satu
agama ke agama yang lain, yaitu suatu periode terbaru dari sains normal.
Kejadian ini yang kemudian diistilahkan oleh Kuhn sebagai revolusi sains atau “Saintific
Revolution.”[7]
Maka di sini Kuhn mempertegas bahwa perkembangan sains
terjadi karena adanya paradigma yang lebih baru dan lebih maju dalam hal
revolusi sains. Proses perkembangan tersebut adalah revolusi dari permulaan
yang asli – yaitu suatu proses di mana tingkatan-tingkatannya ditandai
oleh pemahaman terhadap alam yang semakin detail dan canggih.
E. Proses Revolusi Sains
Revolusi sains dapat dianggap sebagai episode perkembangan
non-komulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau
sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan. Paradigma baru ini lebih
memungkinkan menyelesaikan anomali-anomali dari paradigma lama. Pada proses
revolusi sains ini, hampir seluruh kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom,
cara penyelesaian persolaan, cara berfikir, cara mendekati
persoalan berubah dengan sendirinya. Tentu perangkat yang lama yang mungkin
masih relevan untuk difungsikan tetap tidak dikesempingkan. Tetapi, jika cara
pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk
memecahkan persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan
seperangkat cara, rumusan dan wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang baru , yang timbul akibat kemajuan ilmu dan
tekhnologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia
itu sendiri.[8]
Ia menggambarkan bermulanya revolusi sains secara jelas:
“Sains normal sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka
pasti bersifat subversif terhadap komitmen dasarnya (namun)
ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomali-anomali yang merongrong
tradisi praktek ilmiah yang sudah ada”, maka dimulailah investigasi yang berada
di luar kelaziman. Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan
secara revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan
paradigma baru. Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun apa yang
sebelumnya pernah mengalami revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapan
dan menjadi ortodoksi baru, dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut
Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi
yang diikuti lagi oleh sains normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi. Setiap paradigma bisa
menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma.[9]
Pergeseran paradigma mengubah
konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar
pembuktian baru, teknik-teknik riset baru, serta jalur-jalur teori dan
eksperiment baru yang secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi dengan yang
lama. Kebanyakan aktivitas ilmiah, menurut Khun, berlangsung di dalam rubrik
“sains normal”, yakni ilmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks, dan yang
mensyaratkan agar riset “didasarkan pada suatu pencapaian ilmiah masa silam
atau lebih, pencapaian-pencapaian yang diakui sementara waktu oleh komunitas
ilmiah tertentu sebagai dasar praktek selanjutnya.”
Ilmu yang restriktif dan
bersifat pemecahan masalah secara tertutup memiliki kekurangan maupun kelebihannya.
Di satu sisi ia memungkinkan komunitas ilmiah untuk mengumpulkan data
berdasarkan suatu basis sistematis dan secara tepat memperluas batas-batas
ilmu. Dan di lain pihak, sains normal mengisolasi komunits ilmiah dari segala
sesuatu yang berada di luar komunitas itu. Masalah-masalah yang penting secara
sosial, yang tidak bisa direduksi menjadi bentuk pemecahan teka-teki akan
dikesampingkan, dan apa pun yang berada di luar lingkup konseptual dan
instrumental paradigma itu dianggap tidak relevan.
Dalam pemahmannya juga tidak ditemukan
kriteria sains secara konkrit yang digambarkannya. Mengingat kriteria masih
menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan dalam sains terletak pada
paradigma seorang ilmuan, maka yang terpenting menurutnya adalah mengkontruk
paradigma ilmuan lebih penting dibandingkan metodologi.
BAB
III
PENUTUP
Revolusi sains yang digagas oleh Thomas Kuhn lebih
menekankan pada proses tranformasi paradigma yang lama menuju paradigma yang
baru yang lebih mendatangkan sebuah alternatif. Proses-proses yang ia gambarkan
dalam perkembangan sains merupakan siklus bagaimana sains normal ternyata
mendominasi dari seluruh persoalan sains hingga saat ini, dan paradigma di sini
dimainkan oleh kalangan ilmuan yang mendominasi paradigma. Seperti ia sampaikan
dalam pembahasan di atas, bahwa umumnya para ilmuan tidak peduli dengan
paradigma lain yang berkembang, yang diutamakan adalah bagaimana teori-teori
dan konsep mampu diterapkan, jika ditemukan keganjalan mereka cenderung sulit
menemukan pemecahan. Makanya disini perlunya sebuah solusi untuk
menyelesaikannya dengan menerapkan revolusi sains.
Cara
kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan secara umum ke
dalam tahap-tahap sebagai berikut: tahap pertama, paradigma ilmu
membimbimg dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal
science). Di sini para ilmuan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai
model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para
ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas
ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuan menjumpai
berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang digunakan
sebagai bimbingan aktivitas ilmiahnya, inilah yang dinamakan anomali. Anomali
adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidak-cocokan antara
kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap
kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan
terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan
mulai keluar dari jalur ilmu normal. Tahap ketiga, para ilmuan bisa
kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan
mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah
dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma
lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Demikianlah dalam
pandangan Khun, perkembangan dan kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan
evolusi atau akumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Perkembangan ilmu
tidak disebabakan oleh dikuatkan dan dibatalkannya suatu teori, tetapi lebih
disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma. Paradigma pada dasarnya adalah
hasil konstruksi sosial para ilmuan (komunitas ilmiah), yang merupakan
seperangkat keyakinan mereka sebagai cara pandang terhadap dunia dan
contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkrit.
Apa yang digagas oleh Thomas Kuhn memang secara konsep
lebih menjanjikan, namun penyelesaiannya tetap masih terlihat adanya kesamaan
dengan pola positivistik, dia menafikan kebenaran atau kepastian tertinggi di
dalam semesta ini. Usaha epistemologis manusia dianggap tidak memiliki tujuan
akhir dan tidak mungkin diraih secara objektif. Namun, gagasan dari Kuhn
mendapat tempat yang baik dalam pengembangan seluruh disiplin ilmu pengetahuan
kotemporer terutama dalam ilmu social-humaniora.
DAFTAR PUSTAKA
Donny Gahral Aldian, Senjakala
Metafisika Barat, Koekoesan, Depok, 2012
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005
Tsaqofah “Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam”, 1427 H
Kalimah “Jurnal Studi Agama-agama dan Pemikiran Islam”, 2007
Http:// Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn « Towards Islamic Tradition.htm
Http://Revolusi Ilmu Pengetahuan.htm
Http://PARADIGMA DAN REVOLUSI SAINS.htm