Jumat, 23 November 2012

Ontologi Ilmu Pengetahuan


BAB I
PENDAHULUAN

            Dalam proses keilmuan, paradigma ilmu memegang peranan yang penting. Fungsinya adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan.
            Dalam paradigma ilmu, ilmuan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengugkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya.
            Dalam hal ini dimensinya adalah; apa sebenarnya hakikat dari sesuatau yang dapat diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang perlu dipertanyakan ialah hal yang nyata.
            Ada beberapa aliran dari dimensi ini, beberapa diantaranya ialah idealisme, realisme, pragmatisme dan islam. Berikut akan penulis jelaskan, sehingga sedikit memberikan penerangan bagi kita mengenai dimensi di atas. 











BAB II
Ontologi Ilmu Pengetahuan

            Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa yunani, ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada.
Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi.[1]
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka ontologi adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu.
Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Maka tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, dan salah satunya ialah; dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab pada dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata.
Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Ada beberapa aliran dalam ontologi, beberapa aliran tersebut yaitu;
1.    Idealisme
Tokoh utama dalam aliran ini ialah Plato dengan ajarannya yang terkenal yaitu; bahwa ia telah mengatakan seuatu yang nyata atau riil itu adalah sesuatu yang berada di ruang idea. Menurutnya idea merupakan gambaran yang jelas tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indra manusia.[2]
Kaum idealisme berkayakinan, bahwa apa yang tampak dalam alam realitas bukanlah merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan bayangan atas apa yang bersemayam dalam alam pikiran manusia. Menurutnya realitas kebenaran dan kebaikan sebagai idea telah dibawa manusia sejak ia dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi.
Kaum idealis meyakini bahwa pengetahuan sesungguhnya adalah hasil atau produk akal, karena akal merupakan seuatu kemampuan melihat secara tajam bentuk-bentuk spritual murni dari sesuatu yang melampau bentuk materialnya.[3]
Pengetahuan yang dihasilka indra tidak akan pernah menjadi pengetahuan yang hakiki atau sebenarnya tanpa pernah membiarkan akalnya untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang dirasakan indara tersebut.
Menurut aliran ini, pengetahuan adalah suatu bagian dari pemikiran manusia yang dikategorisasikan melalui alam yang objektif yang mana itu ditangkap oleh indra manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan haruslah melalui idea-idea yang seluruh koneksitasnya bersifat sistematis.
   Plato menempatkan konsep “the idea of the good” ini sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan proses pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea memberikan keyakinan bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia. Idea memiliki hubungan langsung dengan putusan-putusan rasio yang mengarah pada pembentukan sikap.[4]
Plato sependapat dengan gurunya Socrates yang mengatakan bahwa pengetahuan yang diterima melalui panca indra mesti selalu berada pada ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dunia materi hanyalah pantulan dari being yang lebih sempurna dan dalam realitasnya selalu tidak mencerminkan seluruh dari substansi yang sesungguhnya. Gambaran asli dari dunia idea manusia hanya dapat dipotret oleh jiwa murniya yang dalam banyak hal berkenaan dengan intelek manusia.[5]
Idealisme berkeyakinan bahwa realitas sejati adalah dunia ruhaniah, bukan yang materi. Dengan kata lain bahwa yang hakiki adalah idea bukanlah panca indra. Apapun yang ditangkap oleh panca indra baik itu yang dilihat, diraba, dirasa, dan dicium , itu hanyalah sebatas itu saja. Sesuatu yang jelas dan pasti ialah apa yang berada dalam dunia idea.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, karena posisinya tidak tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli yang memiliki watak asli dan konstan.[6]
Berdasarkan ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan bahwa pengetahuan berada dalam dua tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastia absolut. Plato berpendapat, bahwa pengetahuan adalah kesadaran dunia idea manusia bahwa pengetahuan yang diajukan dan kesadarannya memiliki hubungan sistematis dengan keseluruhan ideanya tentang kebaikan yang mutlak sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan manusia.[7]





2.    Realisme
Realisme merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa suatu yang riil adalah sesuatu yang bersifat fisik dan psikis.
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan structural.[8]
Realisme melihat adanya hubungan dealektik antara realitas subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di pihak lain ada realitas lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yangt dijadikan objek pengetahuan. Sebuah pengetahuan baru dapat dikatakan benar apabila ada kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat substantif. Aliran ini menekankan, bahwa sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara nyata memang ada (Muhmidayeli, 2011; 95).
Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, pertama yaitu; subjek sebagai realitas yang menyadari dan mengetaui di satu sisi, dan yang kedua yaitu; realitas yang berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan di sisi lain.
Bertolak belakang dari pandangan idealisme yang menyatakan bahwa pikiran manusia dimuati oleh kategori-kategorinya, seperti substansialitas dan kausalitas tentang data indrawi, maka realisme berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima bukanlah sebuah dunia yang kita ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah dunia yang apa adanya. Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam adalah merupakan segi-segi dari benda-benda itu sendiri, bukanlah semacam proyeksi dan pikiran.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran “yang lama” itu memang banar, yaitu disebabkan pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi pada kasus itu. Jadi koherasi tidak melahirkan kebenaran.[9]
Realisme berkeyakinan bahwa pengetahuan selalu dihasilkan dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang kebenarannya telah dikonfirmasi secara berulang-ulang.[10]

3.    Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Kaum pragmatisme menyakini bahwa pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang ianya terpisah dari aktivitas pendidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang mengetahuinya. Kebenaran itu tergantung sepenuhnya melulu pada korespondensi ide manusia dengan realitas eksternal, karena realitas bagi manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskannya.[11]
Menurut pragmatisme pengetahuan itu adalah produk dari proses interaksi atau transaksi antara manusi dengan lingkungannya. Dan kebenaran adalah suatu proferti bagi pengetahuan itu.
Bagi kelompok pragmatisme suatu ide itu dapat dikatakan benar jika ia benar-benar berfungsi dan bisa diterapkan. Dengan kata lain sebuah pengetahuan dikatakan benar apabila ia bernilai, bermanfaat, dan dapat diterapkan.
William James mengatakan “ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai dan atau fungsional bagi personnya.” Sementara itu Peirce dan jhon Dewey  mengklaim bahwa suatu ide dikatakan benar hanya jika memiliki konsekuensi yang memuaskan ketika secara objektif dan saintifik ide itu dapat dipraktikkan secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika ide itu dioperasikan di alam empiris (Muhmidayeli, 2011; 97).
Jhon Dewey menyebutkan, bahwa pikiran bukanlah suatu yang ultimate, absolut, tetapi merupakan suatu bentuk proses alamiah dimana ia muncul sebagai hasil dari hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan lingkungannya. Pikiran manusia selalu berawal dari pengalaman dan untuk kembali ke pengalaman. Ada hubungan interdependensi antara pikiran dan pengalaman empiris yang meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan jika tidak membawa perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan dilihat dari kadar instrumentalisnya yang akan membawa pada akibat-akibat yang telah atau dihasilkan oleh ide/pikiran dalam pengalaman nyata (Muhmidayeli, 2005; 98).
Pragmatisme juga mengatakan bahwa method of intelegence merupakan cara ideal untuk mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang terbaik menurut kaum pragmatisme mestilah melalui melokalisasi problem sedemikian rupa dan memecahkannya.[12]

4.    Islam
Dalam dunia islam, secara nyata membedakan antara ‘ilmu dan ma’rifah. Dua istilah mempunyai makna sendiri-sendiri bagi pengetahuan islam. Kata ‘ilmu lebih ditunjukkan untuk memaknai suatu pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai objektif empiris, ‘ilmu menunjukkan pemerolehan objek pengetahuan melalui transformasi naql ataupun rasionalitas. Sementara kata ma’rifah lebih diaksentuasikan pada pengetahuan yang bermuara pada yang Transenden, Tuhan, dan ma’rifat ini berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung objek pengetahuan.
‘ilmu lebih memberi penekanan pemahaman pada persoalan ilmu fisika, maka ma’rifah lebih mengarah kepada nilai-nilai Transendal. Kata ma’rifah lebih ditunjukkan dalam wajana teologi pengetahuan tentang Allah SWT.
Seiring dengan berkembangnya doktrin ma’rifah yang diyakini sebagai pengetahuan bathin, terutama tentang Tuhan, istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui kasf, ilham, ‘iyan atau isyraq (Muhammad Muslih, 2005; 180).
Dalam epistemologi ma’rifah sumber pokoknya adalah pengalaman. Pengalaman hidup yang otentik, yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Zat yang Maha Suci dan Maha Segalanya. Untuk mengetahui Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu turunnya “teks”.[13]
   Pemaknaan pengetahun sedemikian memiliki implikasi pada bidang pendidikan yang adalah juga diorientasikan pada refleksi nilai-nilai Ilahiah dan bagaimana pendidikan memberikan pemeliharaan dan penyempurnaan nilai-nilai insaniyah yang berdimensi moral agar ia selalu berada pada dimensinya yang fitri sesuai dengan misi pengutusan Rasul yang tidak lain adalah penyempurnaan nilai-nilai moral di dunia.[14]
 Mengingat ibadah dalam islam selalu dikaitkan dengan aktivitas berpikir dan memang berpikir adalah perintah Ilahi agar manusia bisa beriman, maka meniscayakan pengetahuan rasional di dalam proses kependidikan islam berorientari pada nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan rasional dalam islam bukan melulu akal dan bukan pula melulu indrawi, tetapi ada jalinan interdependensi.
 Manusia diberikan fitrah untuk mengenal Tuhan, naluri ini ada pada manusia sejak asal mula kejadian atau penciptaannya. Melalu fitrah yang suci inilah pengetahuan yang diperoleh melalui indrawi yang kemudian menghasilkan sebuah kebenaran yang hakiki. Jadi, dengan demikian antara akal yang fitrah dan indrawi saling bahu membahu dalam menghasilkan pengetahuan yang hakiki.
Pandangan hidup islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatu (tauhid). Pandangan hidup islam bersumber kepada wahyu yag didukung oleh akal dan intuisi.
Islam memberikan keyakinan bahwa pembentukan pengetahuan erat kaitannya dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan Tuhan dalam siklus yang tidak terputus. Manusia sebagai subjek ilmu dituntut proaktif memainkan peran khalifahnya di dalam membuat garis-garis hubungan yang akan membentuk dirinya sebagai manusia mu’min muttaqin yang diidamkan. Dalam upaya ini, Islam mengajarkan bahwa setiap anak manusia memiliki kebebasan menentukan dirinya yang akan membawanya pada ‘ilmu al-yaqin yang memungkinkan ia bertanggung jawab akan apa yang ia hasilkan.[15]
Pengakuan akan betapa pentingnya ilmu dan Islam, terlihat dari ajarannya yang menyebutkan bahwa mencari dan mengajarkan ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, sehingga lembaga pendidikan adalah suatu lembaga yang bertugas bagaimana menyadarkan subjek didiknya akan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengambil peran dalam belajar dan membelajarkan tersebut.[16]
Dengan demikian, pendidikan menempati posisi penting dalam pemanusiaan, tidak saja kerena eksistensinya sebagai pembentukan kepribadian, tetapi juga karena berkenaan dengan misi kemanusiaan sebagai subjek yang memiliki tanggung jawab atas peradaban dan pengembangan serta pembangunan dunia seperti tercermin dalam fungsinya sebagai khalifah dan ‘imarah di muka bumi.[17]













BAB III
PENUTUP

Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni idealisme, realisme, pragmatisme, dll.







DAFTAR PUSTAKA


Bakar Osman, Tauhid & Sains, Pustaka Hidayah, Bandung, 1995

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005

Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005

Syah Hidayat, Filsafat Pendidikan Islam, LP2S, Pekanbaru, 2012

Tsaqofah, Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam 1427 H





[1] Hidayat Syah, Filsafat Pendidikan Islam, LP2S Indrasakti, Pekanbaru, Hal: 33
[2] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hal: 89
[3] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hal: 92
[4] Ibid, Hal: 94
[5] Ibid, Hal:89
[6] Ibid, Hal: 90
[7] Ibid, Hal: 92
[9] Op.Cit, Muhmidayeli, 2005, Hal: 96
[10] Op.Cit, Muhmidayeli, 2011, Hal:96
[11] Ibid, Hal: 97
[12] Ibid, Hal: 97
[13] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal: 180
[14] Op.Cit, Muhmidayeli, 2011, Hal: 99
[15] Ibid, Hal: 100
[16] Ibid
[17] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar