Selasa, 17 Juli 2012

budaya organisasi


BAB I

A. Latar Belakang Masalah
            Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dari yang namanya organisasi baik itu organisasi masyarakat, sekolah, perusahaan, dan lainnya yang menuntut kita ntuk turut serta bekecimpung di dalamnya. Dalam hal ini budaya organisasi perlu di lestarikan dalam semua lembaga-lembaga organisasi, sehingga akan tercipta sebuah organisasi yang bagus dan tercapainya tujuan yang efektif dan efisien.
            Mengacu pada pentingnya budaya organisasi, maka pemakalah mencoba menjelaskan beberapa paparan yang menyangkut budaya organisasi dan pengembangannya di sekolah.

B. Tujuan
            Untuk mengetahui lebih lanjut lagi mengenai budaya organisasi dan bagaimana pengembangannya di sekolah serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Sehingga tercapainya tujuan yang efektif dan efisien.





BAB II
PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI

A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi.  Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Fred Luthan (1995) berpendapat ada enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in-put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out-put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif.
Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
BAB III
PENGEMBANGAN BUDAYA ORGANISASI DI SEKOLAH

A. Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya.
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya.
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No
Nilai
Perilaku Dasar
1
Ilmu Pengetahuan
Berfikir
2
Ekonomi
Bekerja
3
Kesenian
Menikmati keindahan
4
Keagamaan
Memuja
5
Kemasyarakatan
Berbakti/berkorban
6
Politik/kenegaraan
Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
”Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).



B. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.








BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya.
            Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya.
            Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru.

B. Saran
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari rekan-rekan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih  

DAFTAR PUSTAKA

CarterMcNamara.“Organizational Culture” The Management Assistance Program for Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry/culture/culture.htm)
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Fred Luthan. 1995. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill,Inc.
John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo.
Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996. (http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html ).
Moh. Surya .1995.  Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,
Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali.
Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,




KATA PENGANTAR


Bismillahirahmanirrahim.
            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua sehingga dalam kesempatan ini penulis telah dapat meyelesaikan tugas makala pada mata kuliah ADMINISTRASI DAN SUPERVISI PENDIDIKAN dengan judul BUDAYA ORGANISASI DAN PENGEMBANGANNYA DI SEKOLAH.
            Shalawat beriring salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW. Semoga di hari kemudian kelak nanti kita mendaparkan syafa’atnya. Amien…
            Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan arahan dan pandangan, sehingga penulis lebih terarah dalam pembuatan makalah ini.
            Semoga tulisan yang singkat ini dapat di terima dan dapat bermanfaat bagi kita semuanya, hususnya bag penulis sendiri. Penulis manyadari bahwa makalah yang telah dibuat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis berharap kepada para pembaca untuk tidak segan-segan menyampaikan kritik maupun saran demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                    Pekanbaru, Desember  2009


                                                                                                                       
i
 
                                                                                                       Penulis
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ............................................... ……………………………… i

DAFTAR ISI ............................................................... ……………………………… ii
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang ................................................. ………………………………. 1
  2. Tujuan ............................................................... ………………………………. 1

BAB II KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
A.    Pengertian Budaya organisasi......................................................................2
B.     Proses Pembentukan Budaya Organisasi…………..…...............................5

BAB III
  1. Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah............................................7
  2. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah............................9
BAB IV PENTUP
  1. Kesimpulan................................................................................................10
  2. Saran...........................................................................................................10
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................11



OBSERVASI SEBAGAI ALAT EVALUASI


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam evaluasi ada dua teknik yang sangat mendasar yang dijadikan sebagai acuan dalam sebuah evaluasi hasil belajar. Kedua teknik tersebut ialah teknik tes dan teknik nontes.
Teknik tes dalam evaluasi dapat berupa ujian lisan, tes tindakan dan ujian secara tertulis. Sementara teknik nontes dapat berupa observasi, wawanvara, angket, dan analisis dokumen.
Salah satu dari teknik nontes tadi ialah observasi. Disini pemakalah mencoba menguraikan seberapa jauh observasi dapat dijadikan sebagai alat evaluasi, serta segala hal-hal yang terkait dengan observasi.











BAB II
ISI

A.  Pengertian Observasi
Secara umum, pengertian observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan.[1]
Dalam sumber lain dikatakan bahwa observasi ialah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Cara atau metode tersebut pada umumnya ditandai oleh pengamatan tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh individu, dan membuat pencatatan-pencatatan secara objektif mengenai apa yang diamati. Cara dan metode tersebut dapat juga dilakukan dengan menggunakan teknik dan alat-alat khusus seperti blangko-blangko, cheklist, atau daftar isian yang telah dipersiapkan sebelumnya.[2] Dengan demikian, secara garis besar teknik observasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Observasi yang direncanakan, terkontrol.
2.      Observasi informal atau tidak direncanakan lebih dahulu.
Pada observasi yang direncanakan, biasanya pengamat menggunakan blangko-blangko daftar isian yang tersusun, dan di dalamnya telah tercantum aspek-aspek ataupun gejala-gejala apa saja yang perlu diperhatikan pada waktu pengamatan itu dilakukan.

Adapun pada observasi informal, pada umumnya pengamat belum atau tidak mengetahui sebelumnya apa yang sebenarnya harus dicatat dalam pengamatan itu. Aspek-aspek atau peristiwanya tidak terduga sebelumnya. Misalnya pengamatan yang dilakukan guru terhadap murid-murid di dalam kelas ketika mereka sedang mengerjakan suatu mata pelajaran tertentu atau ketika murid-murid sedang bermain pada jam istirahat.
B.  Kedudukan Observasi Di Dalam Evaluasi
Observasi sebagai alat evaluasi banyak digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan. Observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar; misalnya tingkah laku peserta didik pada waktu guru pendidikan agama menyampaikan pelajaran di kelas.[3]
Observasi merupakan metode langsung terhadap tingkah laku di dalam situasi sosial; dengan demikian merupakan bantuan yang vital sebagai suatu alat evaluasi.
Melalui observasi, deskripsi objektif dari individu-individu dalam hubungannya yang aktual satu sama lain dan hubungan mereka dengan lingkungannya dapat diperoleh. Dengan mencatat tingkah laku dan ekspresi mereka yang timbul secara wajar, tanpa dibuat-buat, teknik observasi menjamin proses pengukuran (evaluasi) itu tanpa merusak atau mengganggu kegiatan-kegiatan normal dari kelompok atau individu yang diamati. Data yang dikumpulkan melalui obsevasi mudah diterima dan dapat diolah dengan teknik statistik konvensional.[4]

Jenis-jenis situasi sosial yang dapat diselidiki dengan observasi sangat luas, mencakup bermacam penelitian mengenai tingkah laku fisik, sosial, dan emosional, dari mulai TK, SD, SM, sampai kepada pengamatan terhadap tingkah laku orang dewasa.
Dalam rangka evaluasi hasil belajar, observasi digunakan sebagai teknik evaluasi untuk menilai kegiatan-kegiatan belajar bersifat keterampilan atau skill. Misalnya untuk mengadakan penilaian terhadap murid-murid: bagaimana caramengelas, membubut, menjahit pakaian, mengetik, dan lain sebagainya. Dalam observasi ini guru menggunakan blangko daftar isian yang di dalamnya telah tercantum aspek-aspek kegiatan dari keterampilan itu yang harus dinilai, dan kolom-kolom tempat membubuhkan chek atau skor menurut standar yang telah ditentukan.[5]
C.  Situasi Di Dalam Observasi
Yersild dan Meigs membagi situasi-situasi yang dapat diselidiki melalaui observasi langsung itu menjadi tiga macam, yaitu:[6]
1.      Situasi bebas,
2.      Situasi yang dibuat, dan
3.      Situasi campuran
Pada situasi bebas, klien yang diamati dalam keadaan bebas, tidak tertanggu, dan tidak mengetahui bahwa Ia atau Mereka sedang diamati. Dengan observasi terhadap situasi bebas, pengamat dapat memperolah data yang sewajarnya atau tingkah laku seseorang atau kelompok yang tidak dibuat-buat.
Pada situasi yang dibuat, pengamat telah sengaja membuat atau menambahkan kondisi-kondisi atau situsi-situasi tertentu, kemudian mengamati bagaimana reaksi-reaksi yang timbul dengan adanya kondisi atau situasi yang sengaja dibuat itu. Misalnya dengan memberikan sesuatu yang dapat menimbulkan frustasi. Observasi yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat keterampilan termasuk ke dalam jenis situasi yang dibuat.
Situasi campuran adalah situasi dalam observasi yang merupakan gabungan dari kedua macam situasi tersebut di atas.
Tujuan-tujuan evaluasi dalam rangka pendidikan pada umumnya untuk menilai pertumbuhan dan kemajuan murid dalam belajar, bagaimana perkembangan tingkah laku dan penyesuaian sosialnya, minat dan bakatnya, dan seterusnya.
D.  Validitas Observasi
Di dalam evaluasi validitas merupakan salah satu syarat yang terpenting bagi suatu alat evaluasi. Suatu teknik evaluasi dikatakan mempunyai validitas yang tinggi disebut (valid) jika ia dapat mengukur apa yang sebenarnya harus diukur. Disamping itu, kita harus mengetahui pula bahwa tingkat validitas suatu alat atau teknik evaluasi sangat bergantung pada tujuan yang akan diukur atau dinilai. Suatu teknik evaluasi dapat mempunyai validitas yang berbeda-beda jika dipergunakan untuk mengukur tujuan kegiatan belajar yang berlainan.[7]
Validitas suatu teknik observasi sangat bergantung pada kecakapan, pengertian, dan sifat-sifat pengamat itu sendiri.
Maka untuk menjaga tetap adanya validitas observasi yang dilakukan, guru hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut:
1.      Pencatatan di dalam observasi harus dilakukan segera dan secepat mungkin, jangan dibiarkan peristiwanya terlalu lama sehingga, dengan demikian, bagian-bagian yang penting tidak terlupakan dan pencatatan dapat lebih objektif.
2.      Observer atau pengamat harus selalu sadar akan adanya bahaya dari misinterprestasi yang timbul karena kekacauan atau kurang pahamnya membedakan mana yang berupa gejala dan mana yang berupa sebab-sebab.
3.      Generelasi dari observasi baru dapat diterima atau dilakukan  berdasarkan penelitian yang sangat berhati-hati, dan didasarkan atas sampel yang luas. Jika tidak demikian, generalisasi dapat merupakan suatu kesimpulan yang keliru dan tidak benar.
4.      Last but not least, signifikansi hasil observasi sangat bergantung pada kecakapan, pemahaman, dan sifat-sifat pengamat itu sendiri.
E.  Interprestasi Data Observasi 
Pada penilaian yang dilakukan dengan teknik observasi, waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan data dapat lebih singkat dari pada waktu yang diperlukan untuk menganalisis atau mengolah data. Hal ini bergantung pada tujuan dan teknik observasi yang dipergunakan.[8]
Menganalisis data observasi dapat memerlukan waktu yang tidak lama jika observasi yang dilakukan bertujuan untuk membandingkan frekuensi-frekuensi kegiatan tertentu. Misalnya observasi yang dilakukan oleh guru dalam rangka evaluasi kegiatan-kegiatan praktek atau keterampilan murid-murid dalam mengerjakan pelajaran mengelas atau mengesol sepatu. Dalam hal ini guru menggunakan daftar isian atau rating scale, yang di dalamnya telah tercantum jenis-jenis aspek kegiatan yang harus dinilai.


Akan tetapi, untuk observasi yang bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam tentang proses tingkah laku murid yang fundamental, seperti yang biasa dilakukan oleh konselor sekolah dalam rangka bimbingan dan penyuluhan, waktu yang diperlukan untuk mengolah atau menganalisis data pada umumnya lebih lama. Dalam hal terakhir ini pengolahan data harus didasarkan atas hasil-hasil observasi yang cukup banyak dan dilakukan berkali-kali. Mungkin pengamat masih memerlukan pula data yang diperoleh orang lain, dan di dalam penginterprestasiannya mungkin diperlukan pula pendapat atau teori-teri lain yang telah dikembangkan oleh para ahli dalam bidang ini.
F.   Kelebihan dan Kelemahan Data Observasi
Beberapa kelebihan dari data observasi dalam bidang evaluasi tertentu antara lain sebagai berikut:
1.      Data observasi itu diperoleh langsung dilapangan, yakni dengan jalan melihat dan mengamati kegiatan atau ekspresi peserta didik di dalam melakukan sesuatu, sehingga dengan demikian data etrsebut dapat lebih bersifat objektif dalam melukiskan aspek-aspek kepribadian peserta didik menurut keadaan yang senyatanya.
2.      Data hasil observasi dapat mencakup berbagai aspek kepribadian masing-masing individu peserta didik; dengan demikian maka di dalam pengolahannya tidak berat sebelah atau hanya menekankan pada salah satu segi saja dari kecakapan atau prestasi belajar mereka.
Adapun kelemahan dari observasi adalah sebagai berikut:
1.      Observasi sebagai salah satu alat evaluasi hasil belajar tidak selalu dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh para pengajar. Guru yang tidak atau kurang memiliki kecakapan atau keterampilan dalam melakukan observasi, maka hasil observasinya menjadi kurang dapat diyakini kebenarannya. Untuk menghasilkan data observasi yang baik, seorang guru harus mampu membedakan antara; apa yang tersurat, dengan apa yang tersirat.
2.      Kepribadian dari observer atau evaluator juga acapkali mewarnai atau menyelinap masuk ke dalam penilaian yang dilakukan dengan cara observasi. Prasangka-prasangka yang mungkin melekat pada diri observer dapat mengakibatkan sulit dipisahkannya secara tegas mengenai tingkah laku peserta didik yang diamatinya.
3.      Data yang diperoleh dari kegiatan observasi umumnya baru dapat mengungkap “Kulit luar”nya saja. Adapun apa-apa yang sesungguhnya terjadi di balik hasil pengamatan itu belum dapat diungkap secara tuntas hanya dengan melakukan observasi saja. Kerena itu observasi harus didukung dengan cara-cara lainnya, misalnya dengan melakukan wawancara.











BAB III
PENUTUP

            Observasi merupakan salah satu alat atau teknik penilaian di damping alat-alat atau teknik-teknik yang lain.
            Pada umumnya, untuk menilai hasil belajar siswa di sekolah, guru mempergunakan bermacam-macam bentuk achievement test, seperti oral test, esay test, dan objektive test atau short-answer test. Namun, untuk menilai proses dan hasil belajar yang bersifat keterampilan, kita tidak dapat menggunakan tes tertulis ataupun lisan (tidak sesuai), tetapi harus dengan performance test yang berupa praktek. Untuk keperluan itu, observasi memegang peranan penting sebagai alat evaluasinya. 











DAFTAR PUSTAKA


Anas Sudjono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta; PT Rajagrafindo Persada. 2007
M. Ngalim Purwanto, Prinsip-perinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung; Remaja Karya. I998

Suryatna Rafi’i, Teknik Evaluasi, Bandung; Angkasa. 1985



[1] Anas Sudjono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta; PT Rajagrafindo Persada. 2007. Hal 76
[2] M. Ngalim Purwanto, Prinsip-perinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung; Remaja Karya. I998. Hal 149
[3] Ibid. Hal 150
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid. Hal 152
[8] Ibid. Hal 153