Selasa, 17 Juli 2012

cerpen edukasi


Surat Nafa

            Mentari kian condong dan senja mulai menapak perlahan. Terdengar sayup-sayup riang anak-anak jalanan dari kejauhan, pulang dari perjalanan melawan teriknya matahari dan debu jalanan demi beberapa suap nasi untuk hidup esok hari.
            “Kenapa kau masih disini?” satu suara keluar dari seseorang yang menjadi teman dekatnya.
            Jo, dua huruf yang sangat berarti bagi Nafa. Tempat di mana ia selalu mencurahkan kekesalannya, kemarahannya, serta kesedihannya. Tanpa merubah posisi “Aku lebih nyaman disini,” jawabnya pelan masih menyisakan tangis di dada.
            “Tapi orang tuamu pasti khawatir kepadamu jika kau tidak pulang,” Jo mendekat dan duduk di samping Nafa.
            Air mata menyeruak dari kedua bola matanya. Menarik nafas sejenak mengumpulkan tenaga yang tersisa, “Mereka tidak pernah menghawatirkanku, mereka tidak pernah sayang padaku, mereka tidak pernah ada untukku. Jadi peduli apa mereka dengan aku?” sesak Nafa mengeluarkan kata-katanya, cermin kekesalannya terhadap orang tuanya.
            Jo tertunduk, menarik nafas panjang kemudian berdiri lalu duduk kembali tepat di hadapan nafa, “Saat kau sakit dan butuh teman menemanimu siapa yang di sisimu kalau bukan mereka?, saat kau terjatuh dan butuh pegangan siapa yang merangkulmu kalau bukan mereka?, saat kau butuh barang-barang yang kau inginkan siapa yang memberinya kalau bukan mereka?”.
            “Tapi.” Nafa mencoba memotong.
            “Dengarkan aku dulu.” Teriak Jo yang membuat Nafa ketakutan. Jo tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.
            “Fa! Kau beruntung memiliki orang yang berada di sisimu saat kau terbangun, membujukmu saat kau menangis. Aku dan teman-teman lainnya apa pernah merasakan itu? Kami tidak pernah merasakannya, kami tidak pernah tahu siapa ibu kami, siapa bapak kami. Yang kami tahu saat kami sadar adalah panasnya matahari dan baunya debu jalanan. Yang kami tahu saat kami sadar adalah bisingnya suara kendaraan yang menari-nari kencang di telinga kami. Kami ingin sepertimu punya keluarga yang utuh. Hanya itu, hanya itu keinginan kami tidak lain.” Keras suara Jo keluar dari dua katub bibir keringnya.
Kemudian Jo kembali melanjutkan, “Orang-orang sepertimu selalu bertanya tentang cinta, cita dan masa depan, tapi apa kau tahu apa yang selalu kami tanyakan? Cuma satu Fa pertanyaan kami. Kalau kami tujuan mengapa kami disia-siakan? Kalau kami akibat siapa yang bertanggung jawab? Cuma itu Fa pertanyaan kami. Kami tidak pernah berpikir tentang cinta, cita dan masa depan. Karna hidup yang kami lalui hanyalah berbuat untuk hidup esok hari, tidak lebih. Kau seharusnya bersyukur mempunyai orang yang kau cintai dan dicintai, hanya saja kau tidak pernah sadar kalau mereka cinta dan sayang kepadamu. Kau terlalu banyak menuntut, kau terlalu meminta berlebihan kepada mereka. Sekarang pulanglah dan mintalah maaf kepada mereka. Jika tidak maka esok kau akan mendapatkan aku dan teman-teman lainya yang tidak peduli kepadamu.”
Jo berpaling, meningalkan Nafa dengan kesendiriannya. Butir-butir kristal telah membasahi matanya. Adzan maghrib memecah keheningan senja di bawah pohon perhentian anak jalanan.   
            Nafa bangkit dari duduknya, menghapus air mata yang dari tadi telah memenuhi telaga di tepian pipi dengan kedua tangan lembutnya. Ia pandangi langit yang menyisakan mega merah di ufuk barat, mengeluarkan segenap kekuatan terbesarnya, mengumpulkan sukmanya pulang kembali. Ia kalah telak, ini penuh kesalahnnya. Dia buat hatinya dialiri kebencian dan dendam terhadap orang yang Ia, Jo dan anak-anak jalanan harapkan.
            Nafa meninggalkan pohon perhentian anak jalanan, ia tidak lagi menyisakan dendam dan kemarahan sebab ia tahu sekarang, orang tuanya sangat menyayanginya, menjadikannya seorang anak dengan identitas anak dari kedua orang tuanya.
***

           



Semenjak senja itu Nafa tak pernah lagi kelihatan, hilang bagai matahari disapa malam, bagai bulan saat fajar membentang. Hilang tanpa jejak, menyisakan kerinduan bagi Jo. Hanya satu yang tersisa dari Nafa, sepucuk surat yang menempel di batang pohon perhentian anak-anak jalanan.

Dear Jo
            Assalamu’alaikum
            Kutulis surat ini dengan dua air mata. Air mata kebahagiaan mempunyai sahabat sepertimu, sahabat terbaik yang pernah kutemui. Dan air mata kesedihan karena harus terpisah darimu.
            Tak ada yang dapat aku katakana selain maaf dan terima kasih. Maaf jika aku tidak sempat berpamitan kepadamu, ini mendadak, aku juga baru tahu kalau ayah dipindah tugaskan. Terima kasih telah memberi arti dalam hidupku, telah mengajariku bagaimana mencintai dan dicintai, mengajariku banyak arti dalam kehidupan yang penuh teka-teki ini.
            Apa yang kau katakan benar, mereka sangat sayang padaku, terbukti mereka sangat cemas dan khawatir saat aku baru pulang, aku melihat sendiri butir-butir kristal mengalir deras dari mata biru ibuku. Aku yang terlalu banyak menuntut mereka. Dalam usia remaja seperti ini seharusnya aku lebih mandiri, tidak perlu meminta kasih sayang berlebihan terhadap mereka karena kasih sayang mereka abadi di hati. Dan kau lah yang menyadarkanku akan itu.
Jo, mengenai pertanyaan yang selalu kau dan anak-anak jalanan tanyakan itu, “Jika kami harapan kanapa kami disia-siakan?, jika kami akibat siapa yang bertanggung jawab?.” Aku sudah menemukan jawabannya. Kalian semua adalah harapan, harapannya Sang Pencipta, harapannya keluarga yang kau cintai, keluarga yang tidak sedarah tapi bahkan justru lebih dari itu, sebatin denganmu. Yang mencintaimu dan kau pun mencintai mereka. Kalian tidak disia-siakan. Kalian hidup untuk cinta, cita dan masa depan, kalian hidup untuk keindahan alam ini.
            Jo, jaga dirimu dan keluargamu, keluarga yang tak sedarah melainkan sebatin denganmu. Dan mulailah berpikir tentang cinta, cita dan masa depan. Meski aku pergi tapi aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku hanya terlepas untuk sementara darimu. Dan aku janji akan kembali kepadamu dan anak-anak jalanan keluargamu.
            Jo, terima kasih atas segalanya. Terima kasih telah pernah bersamaku, terima kasih. Aku janji kita akan bertemu lagi dalam keadaan yang penuh kebaikan cinta dan senyuman.
            Wassalamu’alaikum
                                                                                                                 Hunafa Ef-Fajria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar