Surat
Nafa
Mentari kian condong dan senja mulai
menapak perlahan. Terdengar sayup-sayup riang anak-anak jalanan dari kejauhan,
pulang dari perjalanan melawan teriknya matahari dan debu jalanan demi beberapa
suap nasi untuk hidup esok hari.
“Kenapa kau masih disini?” satu
suara keluar dari seseorang yang menjadi teman dekatnya.
Jo, dua huruf yang sangat berarti
bagi Nafa. Tempat di mana ia selalu
mencurahkan kekesalannya, kemarahannya, serta kesedihannya. Tanpa merubah
posisi “Aku lebih nyaman disini,” jawabnya pelan masih menyisakan tangis di
dada.
“Tapi orang tuamu pasti khawatir
kepadamu jika kau tidak pulang,” Jo mendekat dan duduk di samping Nafa.
Air mata menyeruak dari kedua bola
matanya. Menarik nafas sejenak mengumpulkan tenaga yang tersisa, “Mereka tidak
pernah menghawatirkanku, mereka tidak pernah sayang padaku, mereka tidak pernah ada untukku. Jadi
peduli apa mereka dengan aku?” sesak Nafa mengeluarkan kata-katanya, cermin
kekesalannya terhadap orang tuanya.
Jo tertunduk, menarik nafas panjang
kemudian berdiri lalu duduk kembali tepat di hadapan nafa, “Saat kau sakit dan
butuh teman menemanimu siapa yang di sisimu kalau bukan mereka?, saat kau
terjatuh dan butuh pegangan siapa yang merangkulmu kalau bukan mereka?, saat
kau butuh barang-barang yang kau inginkan siapa yang memberinya kalau bukan
mereka?”.
“Tapi.” Nafa mencoba memotong.
“Dengarkan aku dulu.” Teriak Jo yang
membuat Nafa ketakutan. Jo tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.
“Fa! Kau beruntung memiliki orang
yang berada di sisimu saat kau terbangun, membujukmu saat kau menangis. Aku dan
teman-teman lainnya apa
pernah merasakan itu? Kami tidak pernah merasakannya, kami tidak pernah tahu
siapa ibu kami, siapa bapak kami. Yang kami tahu saat kami sadar adalah
panasnya matahari dan baunya debu jalanan. Yang kami tahu saat kami sadar
adalah bisingnya suara kendaraan yang menari-nari kencang di telinga kami. Kami
ingin sepertimu punya keluarga yang utuh. Hanya itu, hanya itu keinginan kami
tidak lain.” Keras suara Jo keluar dari dua katub bibir keringnya.
Kemudian Jo kembali melanjutkan, “Orang-orang sepertimu selalu bertanya
tentang cinta, cita dan masa depan, tapi apa kau tahu apa yang selalu kami
tanyakan? Cuma satu Fa pertanyaan kami. Kalau kami tujuan mengapa kami
disia-siakan? Kalau kami
akibat siapa yang bertanggung jawab? Cuma itu Fa pertanyaan kami. Kami tidak
pernah berpikir tentang cinta, cita dan masa depan. Karna hidup yang kami lalui hanyalah berbuat
untuk hidup esok hari, tidak lebih. Kau seharusnya bersyukur mempunyai orang
yang kau cintai dan dicintai, hanya saja kau tidak pernah sadar kalau mereka
cinta dan sayang kepadamu. Kau terlalu banyak menuntut, kau terlalu meminta
berlebihan kepada mereka. Sekarang pulanglah dan mintalah maaf kepada mereka.
Jika tidak maka esok kau akan mendapatkan aku dan teman-teman lainya yang tidak peduli kepadamu.”
Jo berpaling, meningalkan Nafa dengan kesendiriannya. Butir-butir kristal
telah membasahi matanya. Adzan maghrib memecah keheningan senja di bawah pohon perhentian anak jalanan.
Nafa bangkit dari duduknya,
menghapus air mata yang dari tadi telah memenuhi telaga di tepian pipi dengan
kedua tangan lembutnya. Ia pandangi langit yang menyisakan mega merah di ufuk
barat, mengeluarkan segenap kekuatan terbesarnya, mengumpulkan sukmanya pulang
kembali. Ia kalah telak, ini penuh kesalahnnya. Dia buat hatinya dialiri
kebencian dan dendam terhadap orang yang Ia, Jo dan anak-anak jalanan harapkan.
Nafa meninggalkan pohon perhentian
anak jalanan, ia tidak lagi menyisakan dendam dan kemarahan sebab ia tahu
sekarang, orang tuanya sangat menyayanginya, menjadikannya seorang anak dengan
identitas anak dari kedua orang tuanya.
***
Semenjak senja itu Nafa tak pernah lagi kelihatan, hilang bagai matahari
disapa malam, bagai bulan saat fajar membentang. Hilang tanpa jejak, menyisakan
kerinduan bagi Jo. Hanya satu yang tersisa dari Nafa, sepucuk surat yang
menempel di batang pohon perhentian anak-anak jalanan.
Dear Jo
Assalamu’alaikum
Kutulis surat ini dengan dua air
mata. Air mata kebahagiaan mempunyai sahabat sepertimu, sahabat terbaik yang
pernah kutemui. Dan air mata kesedihan karena harus terpisah darimu.
Tak ada yang dapat aku katakana
selain maaf dan terima kasih. Maaf jika aku tidak sempat berpamitan kepadamu,
ini mendadak, aku juga baru tahu kalau ayah dipindah tugaskan. Terima kasih
telah memberi arti dalam hidupku, telah mengajariku bagaimana mencintai dan
dicintai, mengajariku banyak arti dalam kehidupan yang penuh teka-teki ini.
Apa yang kau katakan benar, mereka
sangat sayang padaku, terbukti mereka sangat cemas dan khawatir saat aku baru
pulang, aku melihat sendiri butir-butir kristal mengalir deras dari mata biru
ibuku. Aku yang terlalu banyak menuntut mereka. Dalam usia remaja seperti ini seharusnya aku lebih
mandiri, tidak perlu meminta kasih sayang berlebihan terhadap mereka karena
kasih sayang mereka abadi di hati. Dan kau lah yang menyadarkanku akan itu.
Jo, mengenai pertanyaan
yang selalu kau dan anak-anak jalanan tanyakan itu, “Jika kami harapan kanapa
kami disia-siakan?, jika kami akibat siapa yang bertanggung jawab?.” Aku
sudah menemukan jawabannya. Kalian semua adalah harapan, harapannya Sang Pencipta,
harapannya keluarga yang kau cintai, keluarga yang tidak sedarah tapi bahkan
justru lebih dari itu, sebatin denganmu. Yang mencintaimu dan kau pun mencintai
mereka. Kalian tidak disia-siakan. Kalian hidup untuk cinta, cita dan masa
depan, kalian hidup untuk keindahan alam ini.
Jo, jaga dirimu dan keluargamu,
keluarga yang tak sedarah melainkan sebatin denganmu. Dan mulailah berpikir
tentang cinta, cita dan masa depan. Meski aku pergi tapi aku tidak pernah
meninggalkanmu. Aku hanya terlepas untuk sementara darimu. Dan aku janji akan
kembali kepadamu dan anak-anak jalanan keluargamu.
Jo, terima kasih atas segalanya. Terima
kasih telah pernah bersamaku, terima kasih. Aku janji kita akan bertemu lagi
dalam keadaan yang penuh kebaikan cinta dan senyuman.
Wassalamu’alaikum
Hunafa Ef-Fajria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar