A. PENDAHULUAN
Ketika Nabi saw akan mengutus Mu’adz
bin Jabal ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada
Mu’adz: “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang
harus diputuskan?” Mu’adz menjawab: “Aku akan memutuskannya berdasarkan
ketentuan yang termaktub di dalam kitan Allah (Al-Qur’an)!” Nabi bertanya lagi:
“Bagaimana jika di dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz
menjawab: “Dengan berdasarkan sunnah Rasulullah saw” Nabi bertanya lagi: “Bagaimana
jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula di dalam sunnah Rasulullah saw?”
Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan
membiarkan satu perkara pun tanpa putusan.” Lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah
kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: ‘Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufik kepada utusanku untuk hal yang melegakanku’.[1]
Dari hadist riwayat Mu’adz di atas
diperoleh kesimpulan bahwa sumber-sumber asli hukum Islam adalah Al-Qur’an dan
sunnah. Jika di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat ketentuan hukum
sesuatu, maka diusahakan menemukan hukumnya melalui ijtihad.
Dalam
hal ini berikut pemakalah mencoba mengkaji apa dan apa-apa saja yang terkait
dengan ijtihad, baik dari segi defenisi, lapangan ijtihad, syarat-syarat
ijtihad dan macam-macam ijtihad dan lain-lainnya yang berkaitan dengannya.
B.
PEMBAHASAN
B.1.
Pengertian dan Dasar Hukum Ijtihad
Definisi
Ijtihad
Dalam istilah ijtihad banyak
pendapat atau rumusan tentang defenisinya, namun satu sama lainnya tidak
mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan saling menguatkan dan menyempurnakan.
Diantara defenisi tersebut adalah:
1.
Imam
As-Syaukani dalam kitabnya Irsyad Al-Fuhuli memberikan defenisi;
Mengerahkan
kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara
istinbath.[2]
Dalam
defenisi ini menggunakan “Mengerahkan kemampuan” untuk menjelaskan bahwa
ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini
berarti bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak
sungguh-sungguh maka itu tidak dinamakan ijtihad.
Penggunaan
kata “Syar’i” mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad adalah
hukum syar’i atau ketentuan yang mengandung tingkah laku manusia.
Selanjutnya
dalam defenisinya itu juga disebutkan mengenai cara menemukan hukum syar’i,
yaitu melalui istinbath yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu
dan dalam kandungan lafadz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha
memahami lafadz tersebut. Dalam artian ijtihad adalah mengeluarkan hukum nash
yang memang secara jelas menunjuk kepada hukum tersebut.[3]
2.
Ibnu
Subki memberikan defenisi sebagai berikut:
Pengerahan kemampuan seorang
fakih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.[4]
Dibandingkan dengan defenisi As-Syaukani,
Ibnu Subki menambahkan lafadz “Fakih” sesudah kata “Pengerahan kemampuan” dan
kata “Dugaan” sebelum kata “Hukum syar’i”.
Dengan
penambahan kata “Fakih”, mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan dalam
ijtihad bukanlah sembarang orang, tetapi orang yang telah mencapai derajat
tertentu yang disebut fakih.
Kata
“Dugaan” sendiri mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan usaha
ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu
sendiri, karena Allah yang mengetahui maksudnya secara pasti, sedangkan Allah
sendiri tidak mengungkapkan ketentuan hukum-Nya secara pasti.
Dengan
menganalisa defenisi di atas dapat dibandingkan dan diambil bahwa hakikat
ijtihad itu adalah sebagai berikut:
a.
Ijtihad
itu adalah pengerahan daya nalar secara maksimal
b.
Usaha
ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang
keilmuan yang disebut fakih
c.
Produk
atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang
hukum syara’ yang bersifat amaliah
d.
Usaha
ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath
Dasar
Hukum Ijtihad
Secara umum, hukum ijtihad itu
adalah wajib, artinya seorang mujtahid wajib melakukan ijatihad untuk menggali
dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak
menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban berijtihad
itu dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Qur’an:
1.
Surat
Al-Hasyr ayat: 2
Maka
ambillah ikhtibar hai orang-orang yang punya pandangan.
Dalam
ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (fakih) untuk
mengambil ikhtibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah untuk mengambil
ikhtibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli kitab
(yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Cara mengambil ikhtibar
ini merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah
menyuruh mengambil ikhtibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan
suruhan itu pada dasarnya adalah wajib.[5]
2.
Surat
An-Nisa ayat: 59
Maka jika kamu berselisih paham
tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul...
Allah
menyuruh mengenbalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul.
Yang diperselisihkan itu biasanya sesuatu yang tidak ditetapkan Allah secara
jelas dan tegas dalam firman-Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada
Allah dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah
ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau yang ditetapkan Rasul dalam sunnah.
Cara seperti ini disebut qiyas, sedangkan qiyas itu merupakan salah satu bentuk
ijtihad. Karena itu, perintah Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah
dan Rasul ini berarti perintah untuk berijtihad dan setiap perintah pada
dasarnya untuk wajib.[6]
B.2.
Peranan dan Lapangan Ijtihad
Peranan
Ijtihad
Banyak
masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-qur’an maupun
sunnah. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyak ayat Al-Qur’an maupun sunnah yang
memberikan isyarat mengenai ijtihad ini, antara lain:
Sungguh, kami telah menurunkan
kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili
antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.
(QS. An-Nisa: 105)
Dalam sebuah hadist nabi Muhammad
saw: “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan berijtihad,
kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan
hukum dengan ijtihad dan keliru, maka ia mendapat satu pahala.”
Ijtihad sebagaimana dijelaskan
diatas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu
masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an
maupun sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak
dapat dipecahkan karena tidak ditemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok
tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas
status hukumnya. Seperti tentang niat shalat. Para ulama sepakat bahwa shalat
tidak sah tanpa niat. Madzhab Maliki dan Syafi’i menetapkan bahwa niat sebagai salah
satu rukun shalat. Sedangkan madzhab Hanafi dan Hambali menetapkan bahwa niat
merupakan salah satu syarat shalat.
Hasil ijtihad terhadap suatu
masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya mungkin berbeda. Hal ini,
antara lain disebabkan adanya perbedaan sudut pandang terhadap masalah yang
dicarikan hukumnya, kondisi masyarakat, dan latar belakang disiplin pengetahuan
yang dimiliki berbeda.
Lapangan
Ijtihad
Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan
dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak jelas dalam Al-Qur’an
maupun sunnah nabi. Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog
antara Nabi dengan Mu’adz bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan
ijtihad bila tidak mendapatkan dari Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah
yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah.[7]
Tidak terdapatnya penjelasan hukum
Al-Qur’an dan sunnah itu dapat dilihat dari dua segi:
- Al-Qur’an dan Hadist secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Umpamanya hukum menghimpun dan membukukan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Dalam hal ini, Al-Qur’an dan Hadist tidak menyuruh dan tidak pula melarang. Untuk menetapkan hukumnya diperlukan ijtihad.
- Secara jelas, langsung dan menyeluruh memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya.
Penjelasan tidak langsung itu umpamanya
hukum memukul orang tua, tetapi ada penjelasan mengenai larangan mengucapkan
kata-kata kasar (uf) terhadap orang tua. Meskipun secara tidak langsung
kewajiban zakat padi tidak tersebut dalam Hadist (karena padi tidak populer
sebagai makanan pokok pada waktu nabi), namun secara tidak langsung telah
dijelaskan dalam kewajiban mengeluarkan zakat gandum.[8]
B.3.
Syarat-syarat dan Macam-macam Ijtihad
Syarat-syarat
berijtihad
Di antara banyak persyaratan yang
harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan ijtihad, sebagaimana disebutkan
oleh para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang terpenting ialah:[9]
1. Memiliki ilmu pengetahuaan yang luas
tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hokum, dalam arti
mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hokum.
2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang
hadis-hadis nabi saw yang berhubungan dengan masalah hokum, dalam arti sanggup
membahas hadis-hadis tersebut untuk menggali hokum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hokumnya
telah ditunjukkan oleh ijma’, agar, dalam menentukan hokum sesuatu,
tidak bertentangan dengan ijma’.
4. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas,
dan dapat mempergunakannya untuk istimbath hokum.
5. mengetahui ilmu logika, agar dapat
menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hokum, dan sanggup mempertanggugjawabkannyan.
6. Menguasai bahasa arab secara mendalam.
Sebab, Al-Quran dan sunnah, sebagai sumber asasi Hukum Islam, tersusun dalam
gaya bahasa Arab yang sangat tinggi, dan di dalam ketinggian dan keunikan gaya
bahasa inilah, antara lain, terletak segi kemukjizatan Al-Quran.
7. Memiliki penggetahuan mendalam tentang
nashik-mansukh dalam al-Quran dan hadis, agar, dalam menggali hokum, tidak
mempergunakan ayat Al-Quran atau hadis Nabi yang telah di-nasakh
(hapus).
8. Mengetahui latar belakang turunnya ayat
(asbab an-nuzul al-ayat) dan latar belakang suatu hadis (asbab
al-wurud al-hadits), agar mampu menggali hokum secara tepat.
9. Mengetahui sejarah para perawi hadis,
supaya dapat menilai sesuatu hadis: apakah dapat diterima ataukah tidak. Sebab,
penentuan derajat atau nilai suatu hadis bergantung sekali pada ihwal perawi,
yang lazim disebut “sanad hadis”. Tanpa mengetahui sejarah para perawi
hadis, tidak mungkin ta’dil dan tarjih (penyaringan)dapat
dilakukan.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hokum
(ushul fiqh), sehingga mampu menggolah dan menganalisis dalil-dalil hokum untuk
menghasilkan hokum suatu permasalahan yang akan digali hukumnya.
Macam-macam Ijtihad
Dalam
menetapkan macam-macam ijtihad para ahli membagi ijtihad dengan melihat kepada
beberapa titik pandang yang berbeda-beda:
- Ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, ada tiga macam:
Ø Ijtihad bayani: ijtihad untuk menemukan
hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi
ketetapannya maupun dari segi penunjukannya.
Ø Ijtihad qiyasi: ijtihad untuk menggali
dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya
secara tersurat dalam dalam nash “baik secara qoth’i maupun secara dhanni” juga
tidak ada ijma’ yang telah menetapkan hukumnya.
Ø Ijtihad istilahi: ijtihad untuk
menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah
kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash “baik qoth’i
maupun dhanni, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada,
juga belum diputuskan dalam ijma’.
- Dari segi hasil yang dicapai melalui ijtihad:
Ø Ijtihad mu’tabar: yang secara hukum
dapat dipandang sebagai penemuan hukum.
Ø Ijtihad ghoiru mu’tabar: yang secara
hukum tidak dapat dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum.
- Dari sudut kegiatan ijtihad dalam kaitannya dengan cara yang digunakan:
Ø Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan
hukum dari makna tujuan yang terdapat dalam nash.
Ø Yang mengeluarkan hukum dari kemiripan
yang terdapat dalam nash.
Ø Mengeluarkan hukum dari keumuman lafaz
nash.
Ø Mengeluarkan hukum dari kumpulan nash.
Ø Mengeluarkan hukum dari keadaan-keadaan
yang terdapat dalam nash.
Ø Mengeluarkan hukum dari dalil dalam
nash.
Ø Mengeluarkan hukum dari amarat dalam
nash.
Ø Mengeluarkan hukum bukan dari nash juga
bukan dari prinsip nash
B.4. Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq
Taqlid
Menurut
al-Ghazali taqlid adalah menerima ucapan tanpa hujjah. Ia memberikan
rumusan paling sederhana, tidak lebih dari tiga kata. Sementara al-Asnawi
berpendapat bahwa taqlid adalah mengambil perkataan orang lain tanpa dalil
dan Ibnu Subki berpendapat bahwa taqlid adalah mengambil suatu perkataan
tanpa mengetahui dalil.
Dari ketiga pendapat di atas dapat
dirumuskan hakikat taqlid yaitu:
- Taqlid adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
- Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
- Orang yang mengikut pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
Ittiba’
Pada umumnya ittiba’ kebalikan dari
taqlid yaitu menerima pendapat orang lain dan dia tahu dalil-dalil atau
hujjahnya kenapa dia mengikut. Orang yang berittiba’ disebut dengan muttabi’
yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengkuti
pendapat dan cara-cara yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya.
Dari segi ia masih mengikuti
pendapat orang lain atau metode yang disusun orang lain, tidak tepat kalau
dinamakan mujtahid (dalam arti mutlak). Namun karena pada waktu mengikuti
pendapat orang lain itu, ia mengetahui secara baik pendapat orang lain yang
diikutinya itu.
Talfiq
Dalam literatur ushul fiqh sulit
ditemukan pembahasan secara jelas tentang defenisi talfiq. Namun hampir semua
literatur menyinggung masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang
yang minta fatwa kepada imam mujtahid lain dalam masalah lain. Perpindahan
madzhab ini mereka namakan talfiq dalam arti : beramal dalam urusan agama
dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa madzhab.[10]
Sebagian ulama menolak talfiq dengan
tujuan untuk mencari kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu
Ishaq al-Marwazi yang beda dengan itu (yaitu membolehkan) kemudian diluruskan
pengertiannya oleh al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukannya; sedang Ibnu
Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat di atas kita bandingkan dengan pendapat Ar-Rozi yang
mengutip persyaratan yang dikemukakan al-Royani dan komentar Ibnu ‘Abad
al-Salam, dapat disimpulkan bahwa boleh tidaknya talfiq tergantung kepada
motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan
yang bersifat umum. Kalau motivasinya adalah negatif, dengan arti mempermainkan
agama atau mempermudah agama, maka hukumnya tidak boleh. Bila talfiq dilakukan
dengan motivasi maslahat, yaitu menghindarkan kesulitan dalam beragama talfiq
dapat dilakukan.
C. ANALISIS
Syari’at Islam bernilai universal
dan merupakan rahmat Allah bagi semesta alam. Kehidupan manusia selalu
berkembang, sejalan dengan perkembangan kemampuannya meningkatkan realisasi
fungsinya sebagai khalifah di bumi. Rahmat Allah yang berwujud agama Islam yang
telah disempurnakan, yang diwahyukan kepada Nabi terakhir Muhammad saw,
memberikan pedoman hidup yang bersifat menyeluruh, meliputi bidang-bidang
aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah kemasyarakatan. Pedoman bidang aqidah
diberikan dengan jelas dan final. Pedoman di bidang ibadah diberikan dengan
terperinci. Pedoman di bidang nilai-nilai akhlak diberikan dengan pasti dan
mutlak. Dalam bidang muamalah kemasyarakan, hanya sebagian yang diberi pedoman
untuk secara terperinci, khususnya menyangkut hukum keluarga dan beberapa segi
hukum pidana. Sedang pedoman untuk bidang-bidang lain muamalah diberikan secara
global, yang aktualisasinya dapat berkembang. Dalam bidang muamalah
kemasyarakan ini, ijtihad sangat dibutuhkan.
Memperhatikan masalah kehidupan bermasyarakat
dewasa ini makin kompleks, maka pemecahannya pun memerlukan partisipasi dari
banyak tenaga ahli, sehingga amat sukar seorang tenaga ahli dapat menemukan
pemecahan atas persoalan-persoalan masyarakat tanpa bersama-sama dengan tenaga
ahli lainnya. Karena itu, ijtihad dalam hukum islam harus dilakukan secara
bersama-sama tidak secara perorangan.
Mengenai dasar hukum ijtihad sendiri
dalam Al-Quran (Al-Hasr: 2) Allah telah memerintahkan kita untuk mengambil
ikhtibar dan pengambilan ikhtibar adalah merupakan salah satu bentuk ijtihad.
Dan pada ayat lain (An-Nisa: 59) Allah memerintahkan pula untuk mengembalikan
suatu yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan cara ini disebut
dengan qiyas sementara qiyas adalah salah satu bentuk ijtihad sendiri. Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa ijtihad memang wajib.
Sementara peranan ijtihad adalah
sangat penting dimana ia berperan penting dalam penetapan status hukum yang
belum jelas hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau bahkan tidak terdapat
dalam keduanya. Dan lapangan ijtihad itu sendiri adalah segala masalah-masalah
yang belum jelas ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau yang belum
dijelaskan oleh keduanya.
Sementara syarat-syarat dan
macam-macam ijtihad ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki oleh
mujtahid diantaranya adalah paham dan tahu bahasa arab dan syarat lainnya telah
disebutkan sebelumnya. Dan macam-macam ijtihad juga telah disebutkan dimuka dan
itu hanya sebagian dari pembagian-pembagian ijtihad dan mungkin saja akan ada
lagi macam-macam ijtihad yang lain yang belum disebutkan.
Mengenai taqlid dan ittiba’ disitu
tidak ada perselihan diantara para ulama diman taqlid boleh bagi seorang muslim
hakiki namun yang seharusnya adalah ittiba’ atau lebih baik lagi menjadi
mujtahid. Sementara pada talfiq disana terdapat perselisihan tentang boleh atau
tidaknya dan dapat disimpulkan bahwa boleh atau tidaknya tergantung motivasi
dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi itu diukur dengan kemaslahatan yang
bersifat umum. Jika negatif maka itu tidak boleh namun jika positif maka itu
diperbolehkan.
D. KESIMPULAN
Dari uraian singkat diatas dapat
disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan ijtihad, sebagai berikut:
v Ijtihad adalah pengarahan daya nalar
secara maksimal yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu
di bidang keilmuan yang disebut fakih untuk memperoleh dugaan yang kuat tentang
hukum syara’ yang bersifat amaliah dan melalui cara-cara istinbath.
v Dasar hukum ijtihad sendiri dapat kita
lihat pada Al-Qur’an surat Al-Hasr: 2 dan An-Nisa: 59
v peranan ijtihad adalah sangat penting
dimana ia berperan penting dalam penetapan status hukum yang belum jelas
hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau bahkan tidak terdapat dalam keduanya.
Dan lapangan ijtihad itu sendiri adalah segala masalah-masalah yang belum jelas
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau yang belum dijelaskan oleh
keduanya.
v Taqlid adalah beramal dengan mengikuti
ucapan atau pendapat orang lain.
v ittiba’ kebalikan dari taqlid yaitu
menerima pendapat orang lain dan dia tahu dalil-dalil atau hujjahnya kenapa dia
mengikut.
v Perpindahan madzhab ini mereka namakan
talfiq dalam arti : beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada
petunjuk beberapa madzhab.
v bahwa boleh atau tidaknya talfiq
tergantung motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi itu diukur dengan
kemaslahatan yang bersifat umum. Jika negatif maka itu tidak boleh namun jika
positif maka itu diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2009
Prof.
Dr. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999
Rahmat
Jalaluddin, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1991
Tugas Terstruktur
Ushul
Fiqh
IJTIHAD
Dosen Pengampu
Elviandri,
S.HI., M.Hum
Oleh:
Adzal
handayani
Aidillah Suja
Ahmad
Rijal
Ahmad
Hasan Al-Basri
Arif
Priyono
Saypriadi
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2010
Tugas Mandiri
Ushul
Fiqh
DINAMISASI
HUKUM ISLAM
MENURUT
SYALTUT
Dosen Pengampu
Elviandri,
S.HI., M.Hum
Oleh:
Aidillah Suja
NIM:
10812002426
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2010
[1] Rahmat Jalaluddin, Ijtihad
Dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1991, hal 45
[2] Lihat: Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2009, hal 238
[3] Ibid
[4] Ibid, hal 239
[5] Ibid, hal 241
[6] Ibid, hal 241
[7] Ibid, hal 307
[8] Ibid, hal 308
[9] Prof. Dr. Rachmat
Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hal 104
[10] Op.cit, Prof. Dr. H.
Amir Syarifuddin, hal 453