Rabu, 01 Februari 2012

IJTIHAD


A.  PENDAHULUAN
            Ketika Nabi saw akan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?” Mu’adz menjawab: “Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam kitan Allah (Al-Qur’an)!” Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika di dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz menjawab: “Dengan berdasarkan sunnah Rasulullah saw” Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula di dalam sunnah Rasulullah saw?” Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan satu perkara pun tanpa putusan.” Lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusanku untuk hal yang melegakanku’.[1]
            Dari hadist riwayat Mu’adz di atas diperoleh kesimpulan bahwa sumber-sumber asli hukum Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah. Jika di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan menemukan hukumnya melalui ijtihad.
Dalam hal ini berikut pemakalah mencoba mengkaji apa dan apa-apa saja yang terkait dengan ijtihad, baik dari segi defenisi, lapangan ijtihad, syarat-syarat ijtihad dan macam-macam ijtihad dan lain-lainnya yang berkaitan dengannya.

B.  PEMBAHASAN
B.1. Pengertian dan Dasar Hukum Ijtihad
Definisi Ijtihad
            Dalam istilah ijtihad banyak pendapat atau rumusan tentang defenisinya, namun satu sama lainnya tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan saling menguatkan dan menyempurnakan. Diantara defenisi tersebut adalah:
1.    Imam As-Syaukani dalam kitabnya Irsyad Al-Fuhuli memberikan defenisi;
            Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath.[2]
            Dalam defenisi ini menggunakan “Mengerahkan kemampuan” untuk menjelaskan bahwa ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak sungguh-sungguh maka itu tidak dinamakan ijtihad.
            Penggunaan kata “Syar’i” mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang mengandung tingkah laku manusia.
            Selanjutnya dalam defenisinya itu juga disebutkan mengenai cara menemukan hukum syar’i, yaitu melalui istinbath yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dan dalam kandungan lafadz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha memahami lafadz tersebut. Dalam artian ijtihad adalah mengeluarkan hukum nash yang memang secara jelas menunjuk kepada hukum tersebut.[3]
2.    Ibnu Subki memberikan defenisi sebagai berikut:
            Pengerahan kemampuan seorang fakih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.[4]
            Dibandingkan dengan defenisi As-Syaukani, Ibnu Subki menambahkan lafadz “Fakih” sesudah kata “Pengerahan kemampuan” dan kata “Dugaan” sebelum kata “Hukum syar’i”.
Dengan penambahan kata “Fakih”, mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan dalam ijtihad bukanlah sembarang orang, tetapi orang yang telah mencapai derajat tertentu yang disebut fakih.
Kata “Dugaan” sendiri mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan usaha ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu sendiri, karena Allah yang mengetahui maksudnya secara pasti, sedangkan Allah sendiri tidak mengungkapkan ketentuan hukum-Nya secara pasti.
Dengan menganalisa defenisi di atas dapat dibandingkan dan diambil bahwa hakikat ijtihad itu adalah sebagai berikut:
a.       Ijtihad itu adalah pengerahan daya nalar secara maksimal
b.      Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut fakih
c.       Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah
d.      Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath

Dasar Hukum Ijtihad
            Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib, artinya seorang mujtahid wajib melakukan ijatihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Qur’an:
1.    Surat Al-Hasyr ayat: 2
Maka ambillah ikhtibar hai orang-orang yang punya pandangan.
Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (fakih) untuk mengambil ikhtibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah untuk mengambil ikhtibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli kitab (yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Cara mengambil ikhtibar ini merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil ikhtibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah wajib.[5]
2.    Surat An-Nisa ayat: 59
            Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul...
Allah menyuruh mengenbalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul. Yang diperselisihkan itu biasanya sesuatu yang tidak ditetapkan Allah secara jelas dan tegas dalam firman-Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada Allah dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau yang ditetapkan Rasul dalam sunnah. Cara seperti ini disebut qiyas, sedangkan qiyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad. Karena itu, perintah Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul ini berarti perintah untuk berijtihad dan setiap perintah pada dasarnya untuk wajib.[6]
B.2. Peranan dan Lapangan Ijtihad
Peranan Ijtihad
            Banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-qur’an maupun sunnah. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyak ayat Al-Qur’an maupun sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini, antara lain:
Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. (QS. An-Nisa: 105)
Dalam sebuah hadist nabi Muhammad saw: “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan ijtihad dan keliru, maka ia mendapat satu pahala.”
Ijtihad sebagaimana dijelaskan diatas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak ditemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya. Seperti tentang niat shalat. Para ulama sepakat bahwa shalat tidak sah tanpa niat. Madzhab Maliki dan Syafi’i menetapkan bahwa niat sebagai salah satu rukun shalat. Sedangkan madzhab Hanafi dan Hambali menetapkan bahwa niat merupakan salah satu syarat shalat.
Hasil ijtihad terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya mungkin berbeda. Hal ini, antara lain disebabkan adanya perbedaan sudut pandang terhadap masalah yang dicarikan hukumnya, kondisi masyarakat, dan latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki berbeda.
Lapangan Ijtihad
            Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak jelas dalam Al-Qur’an maupun sunnah nabi. Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog antara Nabi dengan Mu’adz bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah.[7]
            Tidak terdapatnya penjelasan hukum Al-Qur’an dan sunnah itu dapat dilihat dari dua segi:
  1. Al-Qur’an dan Hadist secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Umpamanya hukum menghimpun dan membukukan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Dalam hal ini, Al-Qur’an dan Hadist tidak menyuruh dan tidak pula melarang. Untuk menetapkan hukumnya diperlukan ijtihad.
  2. Secara jelas, langsung dan menyeluruh memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya.
Penjelasan tidak langsung itu umpamanya hukum memukul orang tua, tetapi ada penjelasan mengenai larangan mengucapkan kata-kata kasar (uf) terhadap orang tua. Meskipun secara tidak langsung kewajiban zakat padi tidak tersebut dalam Hadist (karena padi tidak populer sebagai makanan pokok pada waktu nabi), namun secara tidak langsung telah dijelaskan dalam kewajiban mengeluarkan zakat gandum.[8]
B.3. Syarat-syarat dan Macam-macam Ijtihad
Syarat-syarat berijtihad
            Di antara banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang terpenting ialah:[9]
1.      Memiliki ilmu pengetahuaan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hokum, dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hokum.
2.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis nabi saw yang berhubungan dengan masalah hokum, dalam arti sanggup membahas hadis-hadis tersebut untuk menggali hokum.
3.      Menguasai seluruh masalah yang hokumnya telah ditunjukkan oleh ijma’, agar, dalam menentukan hokum sesuatu, tidak bertentangan dengan ijma’.
4.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istimbath hokum.
5.      mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hokum, dan sanggup mempertanggugjawabkannyan.
6.      Menguasai bahasa arab secara mendalam. Sebab, Al-Quran dan sunnah, sebagai sumber asasi Hukum Islam, tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sangat tinggi, dan di dalam ketinggian dan keunikan gaya bahasa inilah, antara lain, terletak segi kemukjizatan Al-Quran.
7.      Memiliki penggetahuan mendalam tentang nashik-mansukh dalam al-Quran dan hadis, agar, dalam menggali hokum, tidak mempergunakan ayat Al-Quran atau hadis Nabi yang telah di-nasakh (hapus).
8.      Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab an-nuzul al-ayat) dan latar belakang suatu hadis (asbab al-wurud al-hadits), agar mampu menggali hokum secara tepat.
9.      Mengetahui sejarah para perawi hadis, supaya dapat menilai sesuatu hadis: apakah dapat diterima ataukah tidak. Sebab, penentuan derajat atau nilai suatu hadis bergantung sekali pada ihwal perawi, yang lazim disebut “sanad hadis”. Tanpa mengetahui sejarah para perawi hadis, tidak mungkin ta’dil dan tarjih (penyaringan)dapat dilakukan.
10.  Menguasai kaidah-kaidah istinbath hokum (ushul fiqh), sehingga mampu menggolah dan menganalisis dalil-dalil hokum untuk menghasilkan hokum suatu permasalahan yang akan digali hukumnya.

Macam-macam Ijtihad
            Dalam menetapkan macam-macam ijtihad para ahli membagi ijtihad dengan melihat kepada beberapa titik pandang yang berbeda-beda:
  1. Ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, ada tiga macam:
Ø  Ijtihad bayani: ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya.
Ø  Ijtihad qiyasi: ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam dalam nash “baik secara qoth’i maupun secara dhanni” juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan hukumnya.
Ø  Ijtihad istilahi: ijtihad untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash “baik qoth’i maupun dhanni, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma’.
  1. Dari segi hasil yang dicapai melalui ijtihad:
Ø  Ijtihad mu’tabar: yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan hukum.
Ø  Ijtihad ghoiru mu’tabar: yang secara hukum tidak dapat dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum.
  1. Dari sudut kegiatan ijtihad dalam kaitannya dengan cara yang digunakan:
Ø  Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari makna tujuan yang terdapat dalam nash.
Ø  Yang mengeluarkan hukum dari kemiripan yang terdapat dalam nash.
Ø  Mengeluarkan hukum dari keumuman lafaz nash.
Ø  Mengeluarkan hukum dari kumpulan nash.
Ø  Mengeluarkan hukum dari keadaan-keadaan yang terdapat dalam nash.
Ø  Mengeluarkan hukum dari dalil dalam nash.
Ø  Mengeluarkan hukum dari amarat dalam nash.
Ø  Mengeluarkan hukum bukan dari nash juga bukan dari prinsip nash

B.4. Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq
Taqlid
            Menurut al-Ghazali taqlid adalah menerima ucapan tanpa hujjah. Ia memberikan rumusan paling sederhana, tidak lebih dari tiga kata. Sementara al-Asnawi berpendapat bahwa taqlid adalah mengambil perkataan orang lain tanpa dalil dan Ibnu Subki berpendapat bahwa taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
Dari ketiga pendapat di atas dapat dirumuskan hakikat taqlid yaitu:
  1. Taqlid adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
  2. Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
  3. Orang yang mengikut pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
Ittiba’
            Pada umumnya ittiba’ kebalikan dari taqlid yaitu menerima pendapat orang lain dan dia tahu dalil-dalil atau hujjahnya kenapa dia mengikut. Orang yang berittiba’ disebut dengan muttabi’ yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengkuti pendapat dan cara-cara yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya.
            Dari segi ia masih mengikuti pendapat orang lain atau metode yang disusun orang lain, tidak tepat kalau dinamakan mujtahid (dalam arti mutlak). Namun karena pada waktu mengikuti pendapat orang lain itu, ia mengetahui secara baik pendapat orang lain yang diikutinya itu.
Talfiq
            Dalam literatur ushul fiqh sulit ditemukan pembahasan secara jelas tentang defenisi talfiq. Namun hampir semua literatur menyinggung masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang yang minta fatwa kepada imam mujtahid lain dalam masalah lain. Perpindahan madzhab ini mereka namakan talfiq dalam arti : beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa madzhab.[10]
            Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi yang beda dengan itu (yaitu membolehkan) kemudian diluruskan pengertiannya oleh al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukannya; sedang Ibnu Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.
            Jika pendapat di atas kita  bandingkan dengan pendapat Ar-Rozi yang mengutip persyaratan yang dikemukakan al-Royani dan komentar Ibnu ‘Abad al-Salam, dapat disimpulkan bahwa boleh tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Kalau motivasinya adalah negatif, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah agama, maka hukumnya tidak boleh. Bila talfiq dilakukan dengan motivasi maslahat, yaitu menghindarkan kesulitan dalam beragama talfiq dapat dilakukan.

C.  ANALISIS
            Syari’at Islam bernilai universal dan merupakan rahmat Allah bagi semesta alam. Kehidupan manusia selalu berkembang, sejalan dengan perkembangan kemampuannya meningkatkan realisasi fungsinya sebagai khalifah di bumi. Rahmat Allah yang berwujud agama Islam yang telah disempurnakan, yang diwahyukan kepada Nabi terakhir Muhammad saw, memberikan pedoman hidup yang bersifat menyeluruh, meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah kemasyarakatan. Pedoman bidang aqidah diberikan dengan jelas dan final. Pedoman di bidang ibadah diberikan dengan terperinci. Pedoman di bidang nilai-nilai akhlak diberikan dengan pasti dan mutlak. Dalam bidang muamalah kemasyarakan, hanya sebagian yang diberi pedoman untuk secara terperinci, khususnya menyangkut hukum keluarga dan beberapa segi hukum pidana. Sedang pedoman untuk bidang-bidang lain muamalah diberikan secara global, yang aktualisasinya dapat berkembang. Dalam bidang muamalah kemasyarakan ini, ijtihad sangat dibutuhkan.
             Memperhatikan masalah kehidupan bermasyarakat dewasa ini makin kompleks, maka pemecahannya pun memerlukan partisipasi dari banyak tenaga ahli, sehingga amat sukar seorang tenaga ahli dapat menemukan pemecahan atas persoalan-persoalan masyarakat tanpa bersama-sama dengan tenaga ahli lainnya. Karena itu, ijtihad dalam hukum islam harus dilakukan secara bersama-sama tidak secara perorangan.
            Mengenai dasar hukum ijtihad sendiri dalam Al-Quran (Al-Hasr: 2) Allah telah memerintahkan kita untuk mengambil ikhtibar dan pengambilan ikhtibar adalah merupakan salah satu bentuk ijtihad. Dan pada ayat lain (An-Nisa: 59) Allah memerintahkan pula untuk mengembalikan suatu yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan cara ini disebut dengan qiyas sementara qiyas adalah salah satu bentuk ijtihad sendiri. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa ijtihad memang wajib.
            Sementara peranan ijtihad adalah sangat penting dimana ia berperan penting dalam penetapan status hukum yang belum jelas hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau bahkan tidak terdapat dalam keduanya. Dan lapangan ijtihad itu sendiri adalah segala masalah-masalah yang belum jelas ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau yang belum dijelaskan oleh keduanya.
            Sementara syarat-syarat dan macam-macam ijtihad ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki oleh mujtahid diantaranya adalah paham dan tahu bahasa arab dan syarat lainnya telah disebutkan sebelumnya. Dan macam-macam ijtihad juga telah disebutkan dimuka dan itu hanya sebagian dari pembagian-pembagian ijtihad dan mungkin saja akan ada lagi macam-macam ijtihad yang lain yang belum disebutkan.
            Mengenai taqlid dan ittiba’ disitu tidak ada perselihan diantara para ulama diman taqlid boleh bagi seorang muslim hakiki namun yang seharusnya adalah ittiba’ atau lebih baik lagi menjadi mujtahid. Sementara pada talfiq disana terdapat perselisihan tentang boleh atau tidaknya dan dapat disimpulkan bahwa boleh atau tidaknya tergantung motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi itu diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Jika negatif maka itu tidak boleh namun jika positif maka itu diperbolehkan.


D.  KESIMPULAN
            Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan ijtihad, sebagai berikut:
v  Ijtihad adalah pengarahan daya nalar secara maksimal yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut fakih untuk memperoleh dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah dan melalui cara-cara istinbath.
v  Dasar hukum ijtihad sendiri dapat kita lihat pada Al-Qur’an surat Al-Hasr: 2 dan An-Nisa: 59
v  peranan ijtihad adalah sangat penting dimana ia berperan penting dalam penetapan status hukum yang belum jelas hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau bahkan tidak terdapat dalam keduanya. Dan lapangan ijtihad itu sendiri adalah segala masalah-masalah yang belum jelas ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist atau yang belum dijelaskan oleh keduanya.
v  Taqlid adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
v  ittiba’ kebalikan dari taqlid yaitu menerima pendapat orang lain dan dia tahu dalil-dalil atau hujjahnya kenapa dia mengikut.
v  Perpindahan madzhab ini mereka namakan talfiq dalam arti : beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa madzhab.
v  bahwa boleh atau tidaknya talfiq tergantung motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi itu diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Jika negatif maka itu tidak boleh namun jika positif maka itu diperbolehkan.           

DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2009

Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999

Rahmat Jalaluddin, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1991











Tugas Terstruktur
Ushul Fiqh

IJTIHAD
Dosen Pengampu
Elviandri, S.HI., M.Hum
Oleh:
Adzal handayani
Aidillah Suja
Ahmad Rijal
Ahmad Hasan Al-Basri
Arif Priyono
Saypriadi

 PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2010
Tugas Mandiri
Ushul Fiqh


DINAMISASI HUKUM ISLAM
MENURUT SYALTUT

Dosen Pengampu
Elviandri, S.HI., M.Hum
Oleh:
Aidillah Suja
NIM: 10812002426

 PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2010


[1] Rahmat Jalaluddin, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1991, hal 45
[2] Lihat: Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2009, hal 238
[3] Ibid
[4] Ibid, hal 239
[5] Ibid, hal 241
[6] Ibid, hal 241
[7] Ibid, hal 307
[8] Ibid, hal 308
[9] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hal 104
[10] Op.cit, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, hal 453

1 komentar: