BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan intelektual Islam telah
mati. Begitulah pernyataan yang sering diulang-ulang oleh kalangan orientalis.
Setidaknya ada tiga buah dalih yang digunakan kalangan orientalis untuk
menyakinkan umat Islam, tentang kemandegan kegiatan intelektual ini. Pertama,
isu tentang tertutupnya pintu ijtihad yang telah berlangsung lama sekali
sekitar ribuan tahun silam. Kedua, serangan Al-Ghazali terhadap filsafat, ini
melalui karyanya yang monumental (Tahafut al-falasifah). Dan ketiga, meninggalnya
Ibnu Rusyd, yang dianggap sebagai simbol rasionalisme Islam.
Apa yang dinyatakan oleh para
orientalis ini, bukan saja terkesan sangat objektif, tetapi juga meimiliki
dampak yang sangat serius, terutama ini berkenaan dengan perspektif dan
penyikapan umat Islam belakangan terhadap dimensi-dimensi intelektual.
Pada satu sisi, gema tertutupnya pintu ijtihad dan serangan-serangan
Al-Ghazali terhadap filsafat secara terus-menerus diresonansi, sehingga mampu
membungkam setiap potensi intelektual umat Islam yang akan berkembang. Pada
sisi lain para orientalis dengan rasa meyakinkan, terutama terhadap kalangan
yang sering disebut sebagai cendikiawan Muslim, bahwa intelektualisme barat
adalah “pisau” yang paling tajam untuk membedah berbagai persoalan umat manusia.[1]
Ini tidak saja menimbulkam gelombang keawaman dan apatisme intelektual yang
merata di kalangan Islam, tetapi juga melahirkan para cendikiawan Muslim, yang
dengan pisau analisis serta metodologinya yang baru, mencoba “meletakkan” iman
dan transendensi Islam sebatas kebenaran yang bersifat hipotetik. Dampak lain
yang lebih besar adalah timbulnya inferioritas peradaban di kalangan Islam,
terutama berkenaan dengan dimensi-dimensi intelektual, yang secara terminatif
akan mempengaruhi bahkan menghambat perkembangan Islam di masa-masa yang akan
datang.
Tetapi benarkah kegiatan intelektual umat Islam telah mandeg? Benarkah
pintu ijtihad telah tertutup? Benarkah filsafat islam telah mati karena
hantaman Al-Ghazali melalui Tahafut al-falasafah dan meninggalnya Ibnu Rusyd?
Dalam hal ini Seyyed Hossein Nasr dengan berbagai pemikiranya menunjukan
bahwa tudingan para orientalis terhadap kegiatan intelektual umat Islam terlalu
banyak memiliki cacat dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Makalah ini mencoba menguraikan bagaimana pemikiran Seyyed Hossein Nasr
terhadap filsafat Islam sebagai bukti bahwa kegiatan intelektual Islam belum
mati dan masih berlangsung hingga saat ini.
BAB II
Seyyed Hossein Nasr
A.
Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr
dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya bernama
Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada
masa dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin
menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional.
Ia hidup dalam dua tradisi, Islad tradisional dan Modernitas Barat. Beliau
dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah. Beliau sempat memperoleh pendidikan
Barat modern di Institiut Teknologi Massachussets dan Universitas Harvard.[2]
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia
dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk
at-Thabtaba’I untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal
Alquran dan syair-syair klasik Persia.
Pada masa pendidikannya di
Iran, ketegangan telah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan
Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mempengaruhi negara-negara
Musli yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan Islam tradisional.
Barangkali hal ini yang mendorong keinginan Seyyed Hossein Nasr untuk belajar
ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler Barat harus masuk ke sarangnya.[3]
Pada usia 13 tahun, Seyyed
Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas
dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematikan dan fisika
di Massachussets di bawah bimbingan seorang guru terkenal yakni Bertrand
Russel.
Pada tahun 1954, Seyyed
Hossein Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada awalnya ia
mengambil jurusan geologi dan geofisika, tetapi kemudian beralih mendalami
disiplin ilmu tradisional dengan menekuni bidang filsafat dan ilmu pengetahuan
yang bertitik fokus pada ilmu pengetahuan Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed
Hossein Nasr belajar sejarah dan pemikiran Islam dari tokoh terkenal lainnya
yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton dan sejarah
Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson.[4]
Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak
pemikiran, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh
pemikir keIslaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan
sebagainya. Salah
satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr adalah pemikiran
filsafat metafisika universal.[5]
Pada tahun 1958, Seyyed
Hossein Nasr berhasil merai gelar doktor dengan judul disertasi “An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah bimbingan H.A.R. Gibb
yang kemudian diterbitkan pada tahun 1964.[6]
B.
Yang Mempengaruhi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Semasa
belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam
dari berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sains di Barat, Nasr juga kemudian
tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika
Timur yang banyak ia dapatkan di
perpustakaan-perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin
keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya
mistik kesufian dan didukung
oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi‟ah.
Pemikiran yang sangat
mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perennial. Diantara para
tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak
dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam. Nasr sangat memuji
karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan
gelar padanya sebagai My Master.[7]
Salah satu tokoh yang juga
banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon. Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi
orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis
hermetisme, sebagai bagian yang
penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.[8]
C.
Gagasan
Islam Tradisi Seyyed Hossein Nasr
Pemikiran
Seyyed Hossein Nasr yakni tentang tradisi Islam atau Islam tradisional di
tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang
mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional menurut
pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan membawa
manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup
manusia jauh dari kebahagian.[9]
Islam
tradisional ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan modernitas yang
tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam
tradisional lebih utuh untuk bisa memandang realitas karena Islam tradisional
memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan
keilahian.
Tradisi
ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah
tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi yang
ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang
melepaskan diri dari ilahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam
realitasnya mengatur segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan
dasar pemikiran yang ia bangun.
Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk
yang terpenjara oleh akal
dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci,
yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci,menurut nasr, hidup di
dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran
penuh sejak asal yang mengandung
kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai,
memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.
Manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya
yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan.
Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam
setiap ruang dan waktu.[10]
Menurut Nasr, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat
langgeng, tetap, abadi dan berkesinambungan, sifatnya tidak akan lenyap
bersamaan dengan lenyapnya waktu.[11]
D.
Gagasan
Islamisai Seyyed Hossein Nasr
Konsep Islamisasi sains menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr.
Baginya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari
nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam
keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi
entitas yang berdiri sendiri.
Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi
sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya
cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di atas konsep semua
agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi sains seharusnya
dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan Islam karena
menurutnya keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan islamisasi sains
menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep
Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah
nilai-nilai Islam.[12]
Semangat
pembaharuan (tajdid), ini merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikanIslam pada kedudukannya semula yang sekarang ini
sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan
meninggalkan nilai-nilai Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan
tajdid dengan Renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya.
Suatu renaisanas dalam Islam
berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari
tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. Namun seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh reformasi”
menurut pengertian
modernnya yang disebut muslih.
Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah
mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam
perjanjian suci dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga
membuat dirinya jatuh kedalam belenggu karya rasionalitasnya
yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk
suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat
dirinya tak mengenal siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.[13]
Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak
bisa hanya dilakukan dari sisi materisaja, tetapi juga yang paling dasar adalah
melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri,untuk kemudian ia melakuan
pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnnya.[14]
BAB III
PENUTUP
Sayyed Hossein Nasr, adalah orang yang telah sekian lama
hidup dan akrab dengan dunia
modern yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Ia
menggelorakan semangat pembaharuan (tajdid), yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu
oleh peradaban barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi Islam, yang dilandasi oleh
Al-Qur‟an dan al-Hadits.
Semangat pembaruan atau tajdid ini kemudian kita yang kenal dalam bahasa Nasr sebagai Islam
tradisi.
Nasr merupakan
figur yang sangat relevan kita ia menggembor-gemborkan tentang tajdid. Nasr merupakan tokoh
yang memiliki wawasan yang sangat luas tentang seluk-beluk peradaban modern
dengan segala implikasi-implikasi yang bisa ditimbulkannya.Namun demikian,
keakraban Nasr dengan alam modern tidak lantas menyebabkan ia tercerabut dari akar
peradaban Islam, malah ia lebih menancapkan lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah berhasil menciptakan batasan-batasan antara Islam dan Barat, tradisi dan modernisasi, dan
dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan mengambil tempat.
Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap
kemajuan, malahan Islam merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan
mengelola segala potensi yang telah diberikan Tuhan untuk manusia dan menyadari
hakekat keberadaan dirinya di muka bumi ini yaitu untuk beribadah dan
menghambakan dirinya pada Tuhan
DAFTAR PUSTAKA
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan,
Refika Aditama, Bandung, 2011
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam
Teologi, Filsafat, dan Gnosis, diterjemahkan dari Theologhi, Philosophy and
Sprituality World Sprituality, oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Tsaqofah,
Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam 1427 H
http://Islamisasi Seyyed Hossein
Nasr.htm
[1]Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam
Teologi, Filsafat, dan Gnosis, diterjemahkan dari Theologhi, Philosophy and
Sprituality World Sprituality, oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, Hal: vi
[6]Ibid
[12]http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=167&Itemid=42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar