Rabu, 13 Februari 2013

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr


BAB I
PENDAHULUAN

            Kegiatan intelektual Islam telah mati. Begitulah pernyataan yang sering diulang-ulang oleh kalangan orientalis. Setidaknya ada tiga buah dalih yang digunakan kalangan orientalis untuk menyakinkan umat Islam, tentang kemandegan kegiatan intelektual ini. Pertama, isu tentang tertutupnya pintu ijtihad yang telah berlangsung lama sekali sekitar ribuan tahun silam. Kedua, serangan Al-Ghazali terhadap filsafat, ini melalui karyanya yang monumental (Tahafut al-falasifah). Dan ketiga, meninggalnya Ibnu Rusyd, yang dianggap sebagai simbol rasionalisme Islam.
            Apa yang dinyatakan oleh para orientalis ini, bukan saja terkesan sangat objektif, tetapi juga meimiliki dampak yang sangat serius, terutama ini berkenaan dengan perspektif dan penyikapan umat Islam belakangan terhadap dimensi-dimensi intelektual.
Pada satu sisi, gema tertutupnya pintu ijtihad dan serangan-serangan Al-Ghazali terhadap filsafat secara terus-menerus diresonansi, sehingga mampu membungkam setiap potensi intelektual umat Islam yang akan berkembang. Pada sisi lain para orientalis dengan rasa meyakinkan, terutama terhadap kalangan yang sering disebut sebagai cendikiawan Muslim, bahwa intelektualisme barat adalah “pisau” yang paling tajam untuk membedah berbagai persoalan umat manusia.[1]
Ini tidak saja menimbulkam gelombang keawaman dan apatisme intelektual yang merata di kalangan Islam, tetapi juga melahirkan para cendikiawan Muslim, yang dengan pisau analisis serta metodologinya yang baru, mencoba “meletakkan” iman dan transendensi Islam sebatas kebenaran yang bersifat hipotetik. Dampak lain yang lebih besar adalah timbulnya inferioritas peradaban di kalangan Islam, terutama berkenaan dengan dimensi-dimensi intelektual, yang secara terminatif akan mempengaruhi bahkan menghambat perkembangan Islam di masa-masa yang akan datang.
Tetapi benarkah kegiatan intelektual umat Islam telah mandeg? Benarkah pintu ijtihad telah tertutup? Benarkah filsafat islam telah mati karena hantaman Al-Ghazali melalui Tahafut al-falasafah dan meninggalnya Ibnu Rusyd?
Dalam hal ini Seyyed Hossein Nasr dengan berbagai pemikiranya menunjukan bahwa tudingan para orientalis terhadap kegiatan intelektual umat Islam terlalu banyak memiliki cacat dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Makalah ini mencoba menguraikan bagaimana pemikiran Seyyed Hossein Nasr terhadap filsafat Islam sebagai bukti bahwa kegiatan intelektual Islam belum mati dan masih berlangsung hingga saat ini.

BAB II
Seyyed Hossein Nasr

A.      Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islad tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah. Beliau sempat memperoleh pendidikan Barat modern di Institiut Teknologi Massachussets dan Universitas Harvard.[2]
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk at-Thabtaba’I untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal Alquran dan syair-syair klasik Persia.
Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan telah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mempengaruhi negara-negara Musli yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong keinginan Seyyed Hossein Nasr untuk belajar ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler Barat harus masuk ke sarangnya.[3]
Pada usia 13 tahun, Seyyed Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematikan dan fisika di Massachussets di bawah bimbingan seorang guru terkenal yakni Bertrand Russel.
Pada tahun 1954, Seyyed Hossein Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada awalnya ia mengambil jurusan geologi dan geofisika, tetapi kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menekuni bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang bertitik fokus pada ilmu pengetahuan Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed Hossein Nasr belajar sejarah dan pemikiran Islam dari tokoh terkenal lainnya yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton dan sejarah Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson.[4]
Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak pemikiran, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keIslaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal.[5]
Pada tahun 1958, Seyyed Hossein Nasr berhasil merai gelar doktor dengan judul disertasi “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah bimbingan H.A.R. Gibb yang kemudian diterbitkan pada tahun 1964.[6]

B.       Yang Mempengaruhi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sains di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi‟ah.
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perennial. Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam. Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan gelar  padanya sebagai My Master.[7]
Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon. Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.[8]

C.      Gagasan Islam Tradisi Seyyed Hossein Nasr
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yakni tentang tradisi Islam atau Islam tradisional di tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.[9]
Islam tradisional ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam tradisional lebih utuh untuk bisa memandang realitas karena Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan keilahian.
Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari ilahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar pemikiran yang ia bangun.
Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci,menurut nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.
Manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan. Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu.[10] Menurut Nasr, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng, tetap, abadi dan berkesinambungan, sifatnya tidak akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya waktu.[11]

D.      Gagasan Islamisai Seyyed Hossein Nasr
Konsep Islamisasi sains menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri.
Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai Islam.[12]
Semangat pembaharuan (tajdid), ini merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikanIslam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan Renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya.
Suatu renaisanas dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. Namun seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh reformasi” menurut pengertian modernnya yang disebut muslih.
Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.[13]
Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materisaja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri,untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnnya.[14]
BAB III
PENUTUP

Sayyed Hossein Nasr, adalah orang yang telah sekian lama hidup dan akrab dengan dunia modern yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Ia menggelorakan semangat pembaharuan (tajdid), yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur‟an dan al-Hadits. Semangat pembaruan atau tajdid ini kemudian kita yang kenal dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi.
Nasr merupakan figur yang sangat relevan kita ia menggembor-gemborkan tentang tajdid. Nasr merupakan tokoh yang memiliki wawasan yang sangat luas tentang seluk-beluk peradaban modern dengan segala implikasi-implikasi yang bisa ditimbulkannya.Namun demikian, keakraban Nasr dengan alam modern tidak lantas menyebabkan ia tercerabut dari akar peradaban Islam, malah ia lebih menancapkan lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah berhasil menciptakan batasan-batasan antara Islam dan Barat, tradisi dan modernisasi, dan dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan mengambil tempat.
Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala potensi yang telah diberikan Tuhan untuk manusia dan menyadari hakekat keberadaan dirinya di muka bumi ini yaitu untuk beribadah dan menghambakan dirinya pada Tuhan




DAFTAR PUSTAKA

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, diterjemahkan dari Theologhi, Philosophy and Sprituality World Sprituality, oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tsaqofah, Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam 1427 H
http://Islamisasi Seyyed Hossein Nasr.htm


[1]Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, diterjemahkan dari Theologhi, Philosophy and Sprituality World Sprituality, oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal: vi
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ibid
[7]http://Islamisasi Seyyed Hossein Nasr.htm
[8]Ibid
[9]Op,Cit, http://makalahmajannaii.blogspot.com
[10]Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hal: 160
[11]Ibid
[12]http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=167&Itemid=42
[13]http://Islamisasi Seyyed Hossein Nasr.htm
[14]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar