PANDANGAN
ISLAM
TENTANG
KONSEP PRODUKSI
A. PENDAHULUAN
Masalah produksi telah mengambil
tempat yang sangat luas dalam perkembangan setiap system ekonomi dan banyak
menyita perhatian para ekonom serta sering kali hadir dalam pembahasan mereka.
Kejadian ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan karena produksi merupakan
aspek yang sangat penting dan dominan ketika kita membicarakan masalah-masalah ekonomi,
khususnya jika kita fokus pada pembahasan tentang pemenuhan kebutuhan manusia.
Kata produksi mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan zaman dan pemahaman manusia.
Perkembangan ini sangat memungkinkan menimbulkam perubahan pada makna dan ruang
lingkupnya. Perkembangan yang menimbulkan perbedaan makna ini terus berjalan
hingga sekarang. Oleh karena itu kata produksi yang kita pahami saat ini
mungkin tidak sama dengan apa yang dipahami oleh orang-orang terdahulu.
B. PEMBAHASAN
- Beberapa
Pandangan Terhadap Produksi
Pada zaman klasik, orang memandang
produksi terbatas pada proses yang menghasilkan barang atau produk tertentu. Pandangan
ini menjadikan fokus mereka ketika disebutkan kata produksi secara langsung
menuju pada penciptaan barang, baik untuk dikonsumsi maupun digunakan untuk
dalam proses penciptaan barang lain. Pada dasarnya, Marxisme sebenarnya juga
mengadopsi pemahaman yang sama dengan pandangan ini, hanya saja mereka
menambahkan sedikit, yaitu mereka tidak membatasi produksi pada proses
penciptaan barang saja, tetapi juga termasuk di dalamnya penciptaan jasa. Jadi
produksi menurut mereka merupakan proses yang tidak hanya menghasilkan barang,
tetapi juga jasa.
Lain lagi dengan pandangan Neo
Klasik, dimana mereka mengaitkan produksi dengan unsur manfaat. Sehingga suatu
usaha yang menghasilkan manfaat sudah bisa dikatakan sebagai proses produksi.
Bahkan usaha yang hanya menambahkan jumlah manfaat yang ada pada suatu barang
tertentu juga mereka katakana sebagai proses produksi.
Lalu,
bagaimana dengan Islam? Apakah Islam hanya mengamini apa yang mereka katakan?
Atau memiliki pemahaman yang berbeda sama sekali dengan pemahaman-pemahaman
tersebut. Sebenarnya Islam tidak mempunyai pandangan yang terlalu berbeda
dengan pandangan mereka. Islam mengartikan produksi sebagai segala usaha untuk
menghasilkan manfaat, baik manfaat bagi individu maupun bagi masyarakat secara
umum, penciptaan manfaat ini bisa dilakukan baik dengan jalan penciptaan barang
ataupun jasa. Akan tetapi, manfaat yang “Diinginkan” oleh Islam tidaklah
sama dengan yang mereka maksudkan. Manfaat dalam Islam terbatas hanya pada
wilayah yang dihalalkan Allah dan Rasul-Nya. Kalau pun sesuatu memiliki
kegunaan bagi banyak orang, tapi jika hal ini tidak diperbolehkan dalam
syari’at, maka tidak bisa dikatakan sebagai manfaat (menurut pandangan Islam). Atau
dengan kata lain, manfaat yang dimaksud oleh Islam adalah manfaat yang bersifat
“Robbani”. Dan dari itu semua, maka proses produksi sebagaimana yang
Islam maksud adalah proses produksi yang tidak menyimpang dari aturan ajaran
Islam itu sendiri.
Pada
dasarnya, istilah produksi merupakan istilah yang relatif baru dikenal. Istilah
ini baru dikenal seiring dengan perkembangan ilmu ekonomi dan dan timbul secara
alamiyah di kalangan mereka. Dalam Islam sendiri, istilah ini belum melalui
masa yang lama. Hal ini sangat wajar karena dalam Islam istilah yang ada
hanyalah kata “Amal” atau kerja. Mungkin kepada kata inilah kata produksi
dinisbatkan oleh para ekonom kontemporer. Kata “Amal” dalam Islam
memiliki cakupan yang lebih luas jika dibandingkan dengan produksi, karena “Amal”
dalam Islam mencakup ibadah dan muamalat dan berorientasi pada tujuan ganda,
yaitu tujuan yang bersifat materi dan tujuan yang bersifat non-materi. Yang
kami maksud dengan tujuan materi ini adalah dunia, sedangkan non-materi adalah
tujuan akhirat.
Dengan
tanpa meniadakan perbedaan pendapat sebagaimana disebutkan di atas, sekarang
kita akan membahas lebih lanjut mengenai apa yang kita kenal sebagai
“Faktor-faktor produksi”. Mengenai faktor produksi ini, kalangan ekonom
kapitalis menyebutkan bahwa setidaknya ada empat faktor produksi, yaitu: alam,
modal, tenaga kerja, dan kewiraswastaan atau manajemen. Lain halnya dengan Sosialis,
dimana mereka hanya mengakui satu faktor produksi, yaitu “Tenaga kerja”. Ketiga
faktor produksi yang lain pada dasarnya masih mereka akui keberadaannya, hanya
saja tidak dianggap sesuatu yang terlalu penting.
Kalau
kita amati semua faktor produksi yang diajukan oleh system ekonomi Kapitalis
dan Sosialis di atas, maka akan kita dapati bahwa semuanya kering dari unsur “Ketuhanan”.
Maka Islam, sebagai system ekonomi yang bersifat “Religius” mencoba
memberikan alternatif dengan pandangan-pandangan yang baru tentang faktor
produksi. Faktor-faktor peroduksi yang dimaksud adalah: alam, tenaga kerja, dan
taqwa. Baiklah, sekarang akan kita bahas secara singkat satu-persatu dari
ketiga hal tersebut.
- Sumber
Daya Alam
Pakar ekonom Kapitalis beranggapan
bahwa alam ini mempunyai sifat yang “Kikir”, dalam artian bahwa alam ini tidak
mampu menyediakan bahan-bahan yang bisa digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Sumber daya alam dianggap sangat terbatas persediaannya, sedangkan kebutuhan
manusia selalu bertambah dan bertambah dan tidak ada batas akhirnya.
Anggapan-anggapan di atas sebenarnya sangat menyesatkan. Sebab berangkat dari
anggapan inilah maka manusia secara tidak langsung dituntun untuk bersifat serakah;
berusaha dengan sekuat tenaga memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang tak terbatas
dengan alat pemuas yang terbatas.
Benarkah alam ini tidak cukup untuk
menghidupi seluruh makhluk yang hidup di atasnya? Yang jelas, Allah menciptakan
makhluk-Nya dan bertanggung jawab atas penghidupan mereka. Oleh kerena itu,
tidak hanya diciptakan kemudian ditinggalkan, akan tetapi juga disediakan alam
sebagai sumber penghidupan. Sebagai sumber penghidupan, tentu alam ini tidak
memiliki sifat kikir sehingga tidak memenuhi kebutuhan manusia sebagaimana yang
digambarkan oleh pendukung Kapitalis.
Untuk menghilangkan kekhawatiran manusia
akan kekurangan alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, Allah menegaskan dalam
Al-qur’an surat Ibrohim ayat 32-33 bahwa bumi, langit, dan segala yang ada di
dalamnya diciptakan dan ditundukkan untuk kemakmuran manusia. Alam juga
dikatakan dalam ayat berikutnya sebagai suatu nikmat yang tak terhitung
jumlahnya dari Allah SWT bagi manusia.
ª!$#
Ï%©!$#
t,n=y{
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur
tAtRr&ur
ÆÏB
Ïä!$yJ¡¡9$#
[ä!$tB
ylt÷zr'sù
¾ÏmÎ/
z`ÏB
ÏNºtyJ¨V9$#
$]%øÍ
öNä3©9
(
t¤yur
ãNä3s9
ù=àÿø9$#
yÌôftGÏ9
Îû
Ìóst7ø9$#
¾ÍnÌøBr'Î/
(
t¤yur
ãNä3s9
t»yg÷RF{$#
ÇÌËÈ t¤yur
ãNä3s9
}§ôJ¤±9$#
tyJs)ø9$#ur
Èû÷üt7ͬ!#y
(
t¤yur
ãNä3s9
@ø©9$#
u$pk¨]9$#ur
ÇÌÌÈ
Allah-lah
yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,
kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi
rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu,
berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai.
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah
menundukkan bagimu malam dan siang.
Perlu diketahui bahwa keberadaan
manusia di alam ini adalah sebagai wakil Allah untuk memakmurkan bumi. Sebagai
kholifah, manusia dibekali kemampuan dan ketrampilan untuk untuk mengolah alam
ini, juga diberikan hak milik atas beberapa aset yang ada di atasnya dengan kepemilikan
yang terbatas. Secara umum kepemilikan manusia terbagi menjadi dua, yaitu
kepemilikan khusus atau pribadi dan kepemilikan umum dan publik. Baik
kepemilikan khusus maupun kepemilikin umum, kedua-duanya mendapatkan pengakuan
dan perlindungan oleh Islam. Hal ini sangat berbeda tatkala kita
membandingkannya dengan yang ada pada ekonomi kapitalis dan sosialis; dimana
kapitalis memberikan hak kepemilikan kepada individu tanpa adanya
batasan-batasan tertentu, sehingga sangat mungkin terjadinya penguasaan
sebagian besar kekayaan alam oleh segelintir orang saja. Sebaliknya, ekonomi
Sosialis hanya mengakui kepemilikan umum dan menganaktirikan kepemilikan
pribadi.
Meskipun Islam memberikan hak
kepemilikan kepada manusia atas kekayaannya, namun Islam juga mengimbangi
dengan batasan-batasan tertentu sehingga tidak terjadi kekacauan sebagaimana
yang terjadi di dua system ekonomi di atas. Batasan-batasan tersebut berupa “Syari’ah”,
dimana diatur di dalamnya hal-hal yang menyangkut cara dan bagaimana seharusnya
hak milik itu diperlakukan. Sekali lagi, keterbatasan tersebut sebagai
konsekuensi dari kedudukannya sebagai Kholifah fil ardh. Lebih lanjut,
hak kepemilikan atas sesuatu juga selalu diiringi dengan kewajiban. Maka Islam
mengaitkan harta yang dimiliki dengan kewajiban membayar zakat,
membelanjakannya di jalan Allah, mendistribusikannya kepada yang berhak, dan
lain sebagainya.
- Kerja
dan Tenaga Kerja
Sumber daya alam selalu berkaitan erat
dengan kerja untuk menjalankan fungsinya sebagai faktor produksi. Tersedianya
sumber daya alam tanpa dibarengi dengan tenaga kerja yang mengolah alam
tersebut tentu tidak akan terjadi proses produksi. Maka, tenaga kerja juga
memegang peranan yang sangat fital dalam sebuah proses produksi. Dan oleh
karena itulah, para ekonom Kapitalis menyebut sumber daya alam dan tenaga kerja
sebagai faktor produksi yang paling pokok.
Islam mengaitkan secara erat antara
rizki seseorang dengan kerja. Besar kecilnya rizki seseorang yang akan diterima
sangat tergantung pada usaha orang tersebut untuk meraihnya. Keadaan suatu kaum
tidak akan berubah dengan sendirinya kalau tidak ada usaha untuk merubahnya
sendiri. Demikianlah kiranya yang dapat kita ambil dari kandungan ayat
Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 11;
cÎ)
©!$#
w
çÉitóã
$tB
BQöqs)Î/
4Ó®Lym
(#rçÉitóã
$tB
öNÍkŦàÿRr'Î
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.
Memang,
ada kalanya kita mendapatkan rizki yang tanpa kita usahakan sebelumnya, seperti
pembearian dari orang lain yang tak diduga-duga; namun hal itu tidak bisa kita
jadikan tumpuan hidup. Islam sama sekali tidak menghendaki umatnya
menggantungkan hidupnya pada belas kasihsan dari orang lain. Maka dalam Hadist
dikatakan bahwa yang terbaik adalah kita makan dari hasil keringat kita
sendiri.
Bekerja
dalam kamus istilah ekonomi berarti segala usaha maksimal yang dilakukan
manusia, baik lewat gerak anggota tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan;
baik itu dilakukan secara perorangan ataupun kolektif, baik untuk pribadi
maupun untuk orang lain. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa kerja bukan
terbatas pada aktivitas fisik saja, dan juga tidak terbatas pada aktifitas yang
menghasilkan manfaat bagi diri sendiri.
Dalam
hal seseorang bekerja untuk orang lain, ia berhak mendapatkan kompensasi berupa
gaji atau upah. Upah adalah hak bagi pekerja dan kewajiban bagi orang yang
mempekerjakan. Mengenai upah ini, Rasulullah memerintahkan untuk memberikan
upah kepada pekerja secepatnya setelah pekerjaan yang diperjanjikan selesai,
bahkan sebelum keringatnya kering. Sedangkan besarnya gaji atau upah tergantung
kesepakatan antara kedua belah pihak. Meskipun diserahkan kepada hasil kesepakatan,
besarnya upah tersebut (minimal) harus sejumlah tertentu yang sekiranya bisa
untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Bagaimanapun,
seorang pegawaiadalah partner; maka seorang majikan harus selalu memperhatikan
apa yang menjadi hak-hak pekerjanya. Diantara hak-hak itu adalah hak untuk
mendapatkan gaji yang layak, hak mendapat bimbingan ketrampilan, hak atas
jaminan keselamatan kerja, hak untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan
kebijakan yang menyangkut karyawan atau pekerja, dan hak untuk mendapatkan reward
atas prestasi yang diraih.
Sebagai
seorang partner dalam bekerja; buruh, karyawan, ataupun pekerja tidak boleh
diperlakukan seperti budak yang bisa diperintah untuk melakukan apa saja dan
kapan saja. Mereka jelas mempunya batas kemampuan yang berbeda-beda dan
membutuhkan waktu istirahat yang cukup. Oleh karna itu, Islam benar-benar
melarang membebankan suatu pekerjaan yang berada di luar kemampuannya. Dan
Allah sendiri tidak membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya.
- Taqwa
Inilah yang menjadi karektristik dan
kelebihan ekonomi Islam dibandingkan dengan system ekonomi yang lain. System
ekonomi Islam secara umum bisa dikatakan merupakan bagian dari ajaran Islam,
dimana tidak hanya berorientasi pada kesejahteraan di dunia, tetapi juga
kesejahteraan di akhirat. Konsekuensinya adalah semua kegiatan ekonomi selalu
terikat oleh batasan hala dan haram. Dan hanya orang-orang yang “Taqwa”
yang selalu memperhatikan unsur kehalalan segala sesuatu sebelum mengambil tindakan.
Dengan demikian, jelaslah alasan mengapa taqwa termasuk salah satu faktor
produksi dalam ekonomi Islam.
C. PENUTUP
Ketiga faktor produksi yang
dijelaskan di atas tadi merupakan rumusan yang tidak mutlak, karena memang
hingga saat ini masih terjadi perdebatan. Sebagai contoh, Muhammad bin
Ibrohim Al-Khotibi dalam bukunya Mabadi Al-Iqtishod Al-Islami
menyebutkan empat faktor produksi yang sama dengan apa yang ada dalam ekonomi
Kapitalis. Hanya saja beliau memasukkan unsur-unsur “Keislaman” ke dalamnya,
yang mana jika kita telusuri pada dasarnya mempunyai esensi yang tidak berbeda dengan
tiga faktor yang telah disebutkan di atas. Maka dalam mempelajari ekonomi Islam
kita akan mendapati beberapa persamaan dengan apa yang kita lihat dalam
system-system ekonomi yang lain; namun kesamaan ini hanya ada pada kulitnya,
sedangkan nilai-nilai yang dijadikan landasan untuk berpijak sangatlah
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar