Senin, 16 Juli 2012

PANDANGAN ISLAM TENTANG KONSEP PRODUKSI

PANDANGAN ISLAM
TENTANG KONSEP PRODUKSI

A.  PENDAHULUAN
            Masalah produksi telah mengambil tempat yang sangat luas dalam perkembangan setiap system ekonomi dan banyak menyita perhatian para ekonom serta sering kali hadir dalam pembahasan mereka. Kejadian ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan karena produksi merupakan aspek yang sangat penting dan dominan ketika kita membicarakan masalah-masalah ekonomi, khususnya jika kita fokus pada pembahasan tentang pemenuhan kebutuhan manusia.
            Kata produksi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan zaman dan pemahaman manusia. Perkembangan ini sangat memungkinkan menimbulkam perubahan pada makna dan ruang lingkupnya. Perkembangan yang menimbulkan perbedaan makna ini terus berjalan hingga sekarang. Oleh karena itu kata produksi yang kita pahami saat ini mungkin tidak sama dengan apa yang dipahami oleh orang-orang terdahulu.

B.  PEMBAHASAN
  1. Beberapa Pandangan Terhadap Produksi
            Pada zaman klasik, orang memandang produksi terbatas pada proses yang menghasilkan barang atau produk tertentu. Pandangan ini menjadikan fokus mereka ketika disebutkan kata produksi secara langsung menuju pada penciptaan barang, baik untuk dikonsumsi maupun digunakan untuk dalam proses penciptaan barang lain. Pada dasarnya, Marxisme sebenarnya juga mengadopsi pemahaman yang sama dengan pandangan ini, hanya saja mereka menambahkan sedikit, yaitu mereka tidak membatasi produksi pada proses penciptaan barang saja, tetapi juga termasuk di dalamnya penciptaan jasa. Jadi produksi menurut mereka merupakan proses yang tidak hanya menghasilkan barang, tetapi juga jasa.
            Lain lagi dengan pandangan Neo Klasik, dimana mereka mengaitkan produksi dengan unsur manfaat. Sehingga suatu usaha yang menghasilkan manfaat sudah bisa dikatakan sebagai proses produksi. Bahkan usaha yang hanya menambahkan jumlah manfaat yang ada pada suatu barang tertentu juga mereka katakana sebagai proses produksi.
Lalu, bagaimana dengan Islam? Apakah Islam hanya mengamini apa yang mereka katakan? Atau memiliki pemahaman yang berbeda sama sekali dengan pemahaman-pemahaman tersebut. Sebenarnya Islam tidak mempunyai pandangan yang terlalu berbeda dengan pandangan mereka. Islam mengartikan produksi sebagai segala usaha untuk menghasilkan manfaat, baik manfaat bagi individu maupun bagi masyarakat secara umum, penciptaan manfaat ini bisa dilakukan baik dengan jalan penciptaan barang ataupun jasa. Akan tetapi, manfaat yang “Diinginkan” oleh Islam tidaklah sama dengan yang mereka maksudkan. Manfaat dalam Islam terbatas hanya pada wilayah yang dihalalkan Allah dan Rasul-Nya. Kalau pun sesuatu memiliki kegunaan bagi banyak orang, tapi jika hal ini tidak diperbolehkan dalam syari’at, maka tidak bisa dikatakan sebagai manfaat (menurut pandangan Islam). Atau dengan kata lain, manfaat yang dimaksud oleh Islam adalah manfaat yang bersifat “Robbani”. Dan dari itu semua, maka proses produksi sebagaimana yang Islam maksud adalah proses produksi yang tidak menyimpang dari aturan ajaran Islam itu sendiri.
Pada dasarnya, istilah produksi merupakan istilah yang relatif baru dikenal. Istilah ini baru dikenal seiring dengan perkembangan ilmu ekonomi dan dan timbul secara alamiyah di kalangan mereka. Dalam Islam sendiri, istilah ini belum melalui masa yang lama. Hal ini sangat wajar karena dalam Islam istilah yang ada hanyalah kata “Amal” atau kerja. Mungkin kepada kata inilah kata produksi dinisbatkan oleh para ekonom kontemporer. Kata “Amal” dalam Islam memiliki cakupan yang lebih luas jika dibandingkan dengan produksi, karena “Amal” dalam Islam mencakup ibadah dan muamalat dan berorientasi pada tujuan ganda, yaitu tujuan yang bersifat materi dan tujuan yang bersifat non-materi. Yang kami maksud dengan tujuan materi ini adalah dunia, sedangkan non-materi adalah tujuan akhirat.
Dengan tanpa meniadakan perbedaan pendapat sebagaimana disebutkan di atas, sekarang kita akan membahas lebih lanjut mengenai apa yang kita kenal sebagai “Faktor-faktor produksi”. Mengenai faktor produksi ini, kalangan ekonom kapitalis menyebutkan bahwa setidaknya ada empat faktor produksi, yaitu: alam, modal, tenaga kerja, dan kewiraswastaan atau manajemen. Lain halnya dengan Sosialis, dimana mereka hanya mengakui satu faktor produksi, yaitu “Tenaga kerja”. Ketiga faktor produksi yang lain pada dasarnya masih mereka akui keberadaannya, hanya saja tidak dianggap sesuatu yang terlalu penting.
Kalau kita amati semua faktor produksi yang diajukan oleh system ekonomi Kapitalis dan Sosialis di atas, maka akan kita dapati bahwa semuanya kering dari unsur “Ketuhanan”. Maka Islam, sebagai system ekonomi yang bersifat “Religius” mencoba memberikan alternatif dengan pandangan-pandangan yang baru tentang faktor produksi. Faktor-faktor peroduksi yang dimaksud adalah: alam, tenaga kerja, dan taqwa. Baiklah, sekarang akan kita bahas secara singkat satu-persatu dari ketiga hal tersebut.
  1. Sumber Daya Alam
            Pakar ekonom Kapitalis beranggapan bahwa alam ini mempunyai sifat yang “Kikir”, dalam artian bahwa alam ini tidak mampu menyediakan bahan-bahan yang bisa digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber daya alam dianggap sangat terbatas persediaannya, sedangkan kebutuhan manusia selalu bertambah dan bertambah dan tidak ada batas akhirnya. Anggapan-anggapan di atas sebenarnya sangat menyesatkan. Sebab berangkat dari anggapan inilah maka manusia secara tidak langsung dituntun untuk bersifat serakah; berusaha dengan sekuat tenaga memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang tak terbatas dengan alat pemuas yang terbatas.

            Benarkah alam ini tidak cukup untuk menghidupi seluruh makhluk yang hidup di atasnya? Yang jelas, Allah menciptakan makhluk-Nya dan bertanggung jawab atas penghidupan mereka. Oleh kerena itu, tidak hanya diciptakan kemudian ditinggalkan, akan tetapi juga disediakan alam sebagai sumber penghidupan. Sebagai sumber penghidupan, tentu alam ini tidak memiliki sifat kikir sehingga tidak memenuhi kebutuhan manusia sebagaimana yang digambarkan oleh pendukung Kapitalis.
            Untuk menghilangkan kekhawatiran manusia akan kekurangan alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, Allah menegaskan dalam Al-qur’an surat Ibrohim ayat 32-33 bahwa bumi, langit, dan segala yang ada di dalamnya diciptakan dan ditundukkan untuk kemakmuran manusia. Alam juga dikatakan dalam ayat berikutnya sebagai suatu nikmat yang tak terhitung jumlahnya dari Allah SWT bagi manusia.
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur tAtRr&ur šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( t¤yur ãNä3s9 šù=àÿø9$# y̍ôftGÏ9 Îû ̍óst7ø9$# ¾Ín̍øBr'Î/ ( t¤yur ãNä3s9 t»yg÷RF{$# ÇÌËÈ   t¤yur ãNä3s9 }§ôJ¤±9$# tyJs)ø9$#ur Èû÷üt7ͬ!#yŠ ( t¤yur ãNä3s9 Ÿ@ø©9$# u$pk¨]9$#ur ÇÌÌÈ  
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
 Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
                                             
            Perlu diketahui bahwa keberadaan manusia di alam ini adalah sebagai wakil Allah untuk memakmurkan bumi. Sebagai kholifah, manusia dibekali kemampuan dan ketrampilan untuk untuk mengolah alam ini, juga diberikan hak milik atas beberapa aset yang ada di atasnya dengan kepemilikan yang terbatas. Secara umum kepemilikan manusia terbagi menjadi dua, yaitu kepemilikan khusus atau pribadi dan kepemilikan umum dan publik. Baik kepemilikan khusus maupun kepemilikin umum, kedua-duanya mendapatkan pengakuan dan perlindungan oleh Islam. Hal ini sangat berbeda tatkala kita membandingkannya dengan yang ada pada ekonomi kapitalis dan sosialis; dimana kapitalis memberikan hak kepemilikan kepada individu tanpa adanya batasan-batasan tertentu, sehingga sangat mungkin terjadinya penguasaan sebagian besar kekayaan alam oleh segelintir orang saja. Sebaliknya, ekonomi Sosialis hanya mengakui kepemilikan umum dan menganaktirikan kepemilikan pribadi.
            Meskipun Islam memberikan hak kepemilikan kepada manusia atas kekayaannya, namun Islam juga mengimbangi dengan batasan-batasan tertentu sehingga tidak terjadi kekacauan sebagaimana yang terjadi di dua system ekonomi di atas. Batasan-batasan tersebut berupa “Syari’ah”, dimana diatur di dalamnya hal-hal yang menyangkut cara dan bagaimana seharusnya hak milik itu diperlakukan. Sekali lagi, keterbatasan tersebut sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai Kholifah fil ardh. Lebih lanjut, hak kepemilikan atas sesuatu juga selalu diiringi dengan kewajiban. Maka Islam mengaitkan harta yang dimiliki dengan kewajiban membayar zakat, membelanjakannya di jalan Allah, mendistribusikannya kepada yang berhak, dan lain sebagainya.
  1. Kerja dan Tenaga Kerja
            Sumber daya alam selalu berkaitan erat dengan kerja untuk menjalankan fungsinya sebagai faktor produksi. Tersedianya sumber daya alam tanpa dibarengi dengan tenaga kerja yang mengolah alam tersebut tentu tidak akan terjadi proses produksi. Maka, tenaga kerja juga memegang peranan yang sangat fital dalam sebuah proses produksi. Dan oleh karena itulah, para ekonom Kapitalis menyebut sumber daya alam dan tenaga kerja sebagai faktor produksi yang paling pokok.   
            Islam mengaitkan secara erat antara rizki seseorang dengan kerja. Besar kecilnya rizki seseorang yang akan diterima sangat tergantung pada usaha orang tersebut untuk meraihnya. Keadaan suatu kaum tidak akan berubah dengan sendirinya kalau tidak ada usaha untuk merubahnya sendiri. Demikianlah kiranya yang dapat kita ambil dari kandungan ayat Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 11;
 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan  yang ada pada diri mereka sendiri.
Memang, ada kalanya kita mendapatkan rizki yang tanpa kita usahakan sebelumnya, seperti pembearian dari orang lain yang tak diduga-duga; namun hal itu tidak bisa kita jadikan tumpuan hidup. Islam sama sekali tidak menghendaki umatnya menggantungkan hidupnya pada belas kasihsan dari orang lain. Maka dalam Hadist dikatakan bahwa yang terbaik adalah kita makan dari hasil keringat kita sendiri.
Bekerja dalam kamus istilah ekonomi berarti segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan; baik itu dilakukan secara perorangan ataupun kolektif, baik untuk pribadi maupun untuk orang lain. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa kerja bukan terbatas pada aktivitas fisik saja, dan juga tidak terbatas pada aktifitas yang menghasilkan manfaat bagi diri sendiri.
Dalam hal seseorang bekerja untuk orang lain, ia berhak mendapatkan kompensasi berupa gaji atau upah. Upah adalah hak bagi pekerja dan kewajiban bagi orang yang mempekerjakan. Mengenai upah ini, Rasulullah memerintahkan untuk memberikan upah kepada pekerja secepatnya setelah pekerjaan yang diperjanjikan selesai, bahkan sebelum keringatnya kering. Sedangkan besarnya gaji atau upah tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Meskipun diserahkan kepada hasil kesepakatan, besarnya upah tersebut (minimal) harus sejumlah tertentu yang sekiranya bisa untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Bagaimanapun, seorang pegawaiadalah partner; maka seorang majikan harus selalu memperhatikan apa yang menjadi hak-hak pekerjanya. Diantara hak-hak itu adalah hak untuk mendapatkan gaji yang layak, hak mendapat bimbingan ketrampilan, hak atas jaminan keselamatan kerja, hak untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan yang menyangkut karyawan atau pekerja, dan hak untuk mendapatkan reward atas prestasi yang diraih.
Sebagai seorang partner dalam bekerja; buruh, karyawan, ataupun pekerja tidak boleh diperlakukan seperti budak yang bisa diperintah untuk melakukan apa saja dan kapan saja. Mereka jelas mempunya batas kemampuan yang berbeda-beda dan membutuhkan waktu istirahat yang cukup. Oleh karna itu, Islam benar-benar melarang membebankan suatu pekerjaan yang berada di luar kemampuannya. Dan Allah sendiri tidak membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya.
  1. Taqwa
            Inilah yang menjadi karektristik dan kelebihan ekonomi Islam dibandingkan dengan system ekonomi yang lain. System ekonomi Islam secara umum bisa dikatakan merupakan bagian dari ajaran Islam, dimana tidak hanya berorientasi pada kesejahteraan di dunia, tetapi juga kesejahteraan di akhirat. Konsekuensinya adalah semua kegiatan ekonomi selalu terikat oleh batasan hala dan haram. Dan hanya orang-orang yang “Taqwa” yang selalu memperhatikan unsur kehalalan segala sesuatu sebelum mengambil tindakan. Dengan demikian, jelaslah alasan mengapa taqwa termasuk salah satu faktor produksi dalam ekonomi Islam.

C.  PENUTUP
            Ketiga faktor produksi yang dijelaskan di atas tadi merupakan rumusan yang tidak mutlak, karena memang hingga saat ini masih terjadi perdebatan. Sebagai contoh, Muhammad bin Ibrohim Al-Khotibi dalam bukunya Mabadi Al-Iqtishod Al-Islami menyebutkan empat faktor produksi yang sama dengan apa yang ada dalam ekonomi Kapitalis. Hanya saja beliau memasukkan unsur-unsur “Keislaman” ke dalamnya, yang mana jika kita telusuri pada dasarnya mempunyai esensi yang tidak berbeda dengan tiga faktor yang telah disebutkan di atas. Maka dalam mempelajari ekonomi Islam kita akan mendapati beberapa persamaan dengan apa yang kita lihat dalam system-system ekonomi yang lain; namun kesamaan ini hanya ada pada kulitnya, sedangkan nilai-nilai yang dijadikan landasan untuk berpijak sangatlah berbeda.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar