Jumat, 23 November 2012

KRITSME DAN POSITIVISME


KRITISME

            Pertikaian antara rasionalisme dan empirisme memerlukan jalan penyelesaiannya. Dalam hal ini datanglah Immanuel Kant mencoba mendamaikan antara keduanya. Pada awalnya Kant adalah pengikut rasionalaisme, kemudian terpengaruh oleh pemikiran Hume dengan empirismenya. Namun empirisme tidaklah diterima Kant begitu saja, karena diketahuinya, bahwa empirisme membawa keragu-raguan terhadap budi. Kant mengakui akan kebenaran ilmu, ia mengakui bahwa budi dapat mencapai kebenaran. Akan tetapi ia belum tahu syarat-syarat untuk mencapai kebenaran itu. Maka ia menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi. Inilah awal dari munculnya pemikiran Kant yang akhirnya disebut dengan kritisme.
            Filsafat Kant yang berusaha mengatasi dua aliran yang bertikai (rasionalisme dan empirisme) dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang etrdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu dengan antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang lebih menyejukkan dan konstruktif.[1]
            Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, ia memberikan tempat sentaral pada manusia sebagai subjek dalam berpikir. Maka dalam filsafatnya Kant tidak memulai penyelidikan atas benda-benda yang menjadi objek, melainkan menyelidiki struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Menurutnya lahirnya pengetahuan karena manusia sebagai dengan akal aktifnya mengkontruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap.
            Dalam kritiknya ini, Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Oleh karena itu ia terlebih dahulu membedakan adanya tiga macam putusan:[2]
1.    Putusan analistis (a priori); dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya: setiap benda menempati ruang).
2.    Putusan sintesis (aposteriori): misalnya, pernyataan “meja itu bagus”, di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (post) mempunyai pengalaman dengan berbagai aneka ragam meja yang pernah diketahui.
3.    Putusan sintesi (a priori): di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintesis, namun bersifat a priori juga. Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori), namun putusan ini juga bersifat sintesis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini abik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintesis yang bersifat a priori ini.
Menurut Kant keputusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah bagaimana terjadinya pengetahuan yang demikian itu?
            Menjawab pertanyaan itu Kant menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur yang ada sebelumnya. Pengalaman yakni unsur a priori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan manusia sekalipun. Tingkat pertama dan terendah adalah pencerapan indrawi, lalu tingkat akal budi, dan tingkat tertinggi adalah tingkat rasio/intelek.
Menurut Kant ada tiga pengenalan roh, yaitu: pengamatan indera, akal, dan rasio atau budi. Adapun pengetahuan budi diterangkan pada bagian yang disebutnya Transcendentale Logik. Di situ diselidiki unsur-unsur a priori yang ada pada pengetahuan budi. Logik ini ada dua bagian yaitu Trancendentale Analytik dan Trancendentale Dialektik. Dalam analytik itu dibentangkan pengertian dan putusan a priori.[3]     

POSITIVISME

            Paham positivisme ini dipelopori oleh Auguste Comte yang awalnay muncul di Perancis. Menurut Comte untuk menciptakan masyarakat baru yang serba teratur, perlu adanya perbaikan jiwa dan budi terlebih dahulu. Menurutnya pemikiran manusia itu berkembang dalam tiga tahap  atau zaman, yaitu: zaman teologis, zaman ontologis atau metafisis, dan zaman positivistis.
            Pada tingkat teologis, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan, sedang pada tahap metafisik, penjelasan mengenai sesuatu didasarkan atas pengertian-pengertian metafisik, seperti substansi, form, sebab, dan lainnya. Sedang pada jenjang positivistis, alam pikir manusia mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab pertama.
            Menurut aliran ini, untuk mencapai kebenaran, maka seorang pencari kebenaran (peneliti) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan. Hubungan epistimologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakikat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Oleh karena itu secara metodologis, seorang peneliti menggunakan metodologi eksperimen-empirik unutk menjamin agar temuan yang diperoleh berul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, peng8ukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
            Dibawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun peryataan-pernyataan ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. dapat diamati, 2. Dapat diulang, 3. Dapat diukur, 4. Dapat diuji, 5. Dapat diamalkan. Syarat 1-3 merupakan syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkan 4-5 diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional, dan kuantitatif.[4]
            Metodologi merupakan isi utama yang dibawa positivisme, yang memang dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat menitikberatkan pada aspek ini. Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek positif. Jika metodologi bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, maka kenyataan dimaksud adalah objek positif.[5]
            Dari apa yang diungkapkan Comte, maka bisa diterjemahkan ke dalam norma-norma metodologis sebagai berikut:
  1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif.
  2. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
  3. Ketetapan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.
  4. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis.
  5. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif dan semangat positif’.












DAFTAR PUSTAKA


Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011

Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005

Sudarsono, Ilmu Filsafat: suatu pengantar, cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2008



[1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal: 61
[2] Ibid, Hal: 62
[3] Sudarsono, Ilmu Filsafat: sebuah pengantar, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, Hal: 324-325
[4] Op.Cit, Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Hal: 79-80
[5] Ibid, Hal: 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar