BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
proses keilmuan, paradigma ilmu memegang peranan yang penting. Fungsinya adalah
memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses
keilmuan.
Dalam
paradigma ilmu, ilmuan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar
yang mereka gunakan dalam mengugkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya.
Dalam
hal ini dimensinya adalah; apa sebenarnya hakikat dari sesuatau yang dapat
diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian
dimensi yang perlu dipertanyakan ialah hal yang nyata.
Ada
beberapa aliran dari dimensi ini, beberapa diantaranya ialah idealisme,
realisme, pragmatisme dan islam. Berikut akan penulis jelaskan, sehingga
sedikit memberikan penerangan bagi kita mengenai dimensi di atas.
BAB II
Ontologi Ilmu
Pengetahuan
Istilah
ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa yunani, ontos dan logos.
Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori.
Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori
tentang wujud, tentang hakikat yang ada.
Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian
terminologisnya adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang
ada yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi.
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka
ontologi adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan,
apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu.
Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas
pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk
apa. Maka tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa
dimensi, dan salah satunya ialah; dimensi ontologis, pertanyaan yang harus
dijawab pada dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat
diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian
dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata.
Dalam kaitan
dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh
ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal
yang sesuai dengan akal manusia.
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta
universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Ada beberapa aliran dalam ontologi, beberapa
aliran tersebut yaitu;
1.
Idealisme
Tokoh utama
dalam aliran ini ialah Plato dengan ajarannya yang terkenal yaitu; bahwa ia
telah mengatakan seuatu yang nyata atau riil itu adalah sesuatu yang berada di
ruang idea. Menurutnya idea merupakan gambaran yang jelas tentang dunia realita
yang ditangkap oleh panca indra manusia.
Kaum
idealisme berkayakinan, bahwa apa yang tampak dalam alam realitas bukanlah
merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan bayangan atas apa yang
bersemayam dalam alam pikiran manusia. Menurutnya realitas kebenaran dan
kebaikan sebagai idea telah dibawa manusia sejak ia dilahirkan, dan karenanya
bersifat tetap dan abadi.
Kaum idealis
meyakini bahwa pengetahuan sesungguhnya adalah hasil atau produk akal, karena
akal merupakan seuatu kemampuan melihat secara tajam bentuk-bentuk spritual
murni dari sesuatu yang melampau bentuk materialnya.
Pengetahuan
yang dihasilka indra tidak akan pernah menjadi pengetahuan yang hakiki atau
sebenarnya tanpa pernah membiarkan akalnya untuk menyusun pengetahuan yang
memadai tentang apa yang dirasakan indara tersebut.
Menurut
aliran ini, pengetahuan adalah suatu bagian dari pemikiran manusia yang
dikategorisasikan melalui alam yang objektif yang mana itu ditangkap oleh indra
manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan haruslah melalui idea-idea yang
seluruh koneksitasnya bersifat sistematis.
Plato menempatkan konsep “the idea of the
good” ini sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan
proses pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea memberikan keyakinan
bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia. Idea memiliki hubungan
langsung dengan putusan-putusan rasio yang mengarah pada pembentukan sikap.
Plato
sependapat dengan gurunya Socrates yang mengatakan bahwa pengetahuan yang
diterima melalui panca indra mesti selalu berada pada ketidakpastian. Hal ini
dikarenakan dunia materi hanyalah pantulan dari being yang lebih sempurna dan
dalam realitasnya selalu tidak mencerminkan seluruh dari substansi yang
sesungguhnya. Gambaran asli dari dunia idea manusia hanya dapat dipotret oleh
jiwa murniya yang dalam banyak hal berkenaan dengan intelek manusia.
Idealisme
berkeyakinan bahwa realitas sejati adalah dunia ruhaniah, bukan yang materi.
Dengan kata lain bahwa yang hakiki adalah idea bukanlah panca indra. Apapun
yang ditangkap oleh panca indra baik itu yang dilihat, diraba, dirasa, dan
dicium , itu hanyalah sebatas itu saja. Sesuatu yang jelas dan pasti ialah apa
yang berada dalam dunia idea.
Alam dalam
pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, karena posisinya tidak
tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli yang
memiliki watak asli dan konstan.
Berdasarkan
ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan bahwa pengetahuan berada dalam dua
tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastia absolut. Plato berpendapat, bahwa
pengetahuan adalah kesadaran dunia idea manusia bahwa pengetahuan yang diajukan
dan kesadarannya memiliki hubungan sistematis dengan keseluruhan ideanya
tentang kebaikan yang mutlak sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan manusia.
2.
Realisme
Realisme
merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa suatu yang riil adalah sesuatu
yang bersifat fisik dan psikis.
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa
kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang
tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk
penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu
pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan
utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa
pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan
pemikiran baru dari observasi yang dilakukan.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat
abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik
dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari
pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan
structural
.
Realisme
melihat adanya hubungan dealektik antara realitas subjek yang menyadari dan
mengetahui di satu pihak namun di pihak lain ada realitas lain yang berada di
luar dirinya sebagai sesuatu yangt dijadikan objek pengetahuan. Sebuah
pengetahuan baru dapat dikatakan benar apabila ada kesesuaian dengan dunia
faktual, dapat diamati, dan bersifat substantif. Aliran ini menekankan, bahwa
sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara nyata memang ada (Muhmidayeli,
2011; 95).
Realisme
membagi realitas menjadi dua bagian, pertama yaitu; subjek sebagai
realitas yang menyadari dan mengetaui di satu sisi, dan yang kedua
yaitu; realitas yang berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek
pengetahuan di sisi lain.
Bertolak
belakang dari pandangan idealisme yang menyatakan bahwa pikiran manusia dimuati
oleh kategori-kategorinya, seperti substansialitas dan kausalitas tentang data
indrawi, maka realisme berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima bukanlah
sebuah dunia yang kita ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah
dunia yang apa adanya. Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam
adalah merupakan segi-segi dari benda-benda itu sendiri, bukanlah semacam
proyeksi dan pikiran.
Bagi
kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya
berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat
dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan pengetahuan. Jika
pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah
lantaran “yang lama” itu memang banar, yaitu disebabkan pengetahuan lama
koresponden dengan apa yang terjadi pada kasus itu. Jadi koherasi tidak
melahirkan kebenaran.
Realisme
berkeyakinan bahwa pengetahuan selalu dihasilkan dari proses pengamatan,
pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia sebagai subjek dalam menyerap
dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang
koresponden dengan dunia sebagaimana adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia
telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang kebenarannya telah dikonfirmasi
secara berulang-ulang.
3.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang
dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead,
F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi
terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas
yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi
bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan
menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para
penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah
perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Kaum
pragmatisme menyakini bahwa pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan
langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak
mengonfrontasikan dunia yang ianya terpisah dari aktivitas pendidikan dan
penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang
mengetahuinya. Kebenaran itu tergantung sepenuhnya melulu pada korespondensi
ide manusia dengan realitas eksternal, karena realitas bagi manusia tergantung pada
bagian dalam ide yang menjelaskannya.
Menurut
pragmatisme pengetahuan itu adalah produk dari proses interaksi atau transaksi
antara manusi dengan lingkungannya. Dan kebenaran adalah suatu proferti bagi
pengetahuan itu.
Bagi
kelompok pragmatisme suatu ide itu dapat dikatakan benar jika ia benar-benar
berfungsi dan bisa diterapkan. Dengan kata lain sebuah pengetahuan dikatakan
benar apabila ia bernilai, bermanfaat, dan dapat diterapkan.
William
James mengatakan “ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai
dan atau fungsional bagi personnya.” Sementara itu Peirce dan jhon Dewey mengklaim bahwa suatu ide dikatakan benar
hanya jika memiliki konsekuensi yang memuaskan ketika secara objektif dan
saintifik ide itu dapat dipraktikkan secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme
memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika
ide itu dioperasikan di alam empiris (Muhmidayeli, 2011; 97).
Jhon Dewey
menyebutkan, bahwa pikiran bukanlah suatu yang ultimate, absolut, tetapi
merupakan suatu bentuk proses alamiah dimana ia muncul sebagai hasil dari
hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan lingkungannya. Pikiran
manusia selalu berawal dari pengalaman dan untuk kembali ke pengalaman. Ada
hubungan interdependensi antara pikiran dan pengalaman empiris yang
meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan jika tidak
membawa perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan dilihat dari
kadar instrumentalisnya yang akan membawa pada akibat-akibat yang telah atau
dihasilkan oleh ide/pikiran dalam pengalaman nyata (Muhmidayeli, 2005; 98).
Pragmatisme
juga mengatakan bahwa method of intelegence merupakan cara ideal untuk
mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang terbaik menurut kaum
pragmatisme mestilah melalui melokalisasi problem sedemikian rupa dan
memecahkannya.
4.
Islam
Dalam dunia
islam, secara nyata membedakan antara ‘ilmu dan ma’rifah. Dua istilah mempunyai
makna sendiri-sendiri bagi pengetahuan islam. Kata ‘ilmu lebih ditunjukkan
untuk memaknai suatu pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai objektif
empiris, ‘ilmu menunjukkan pemerolehan objek pengetahuan melalui transformasi
naql ataupun rasionalitas. Sementara kata ma’rifah lebih diaksentuasikan pada
pengetahuan yang bermuara pada yang Transenden, Tuhan, dan ma’rifat ini
berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung objek pengetahuan.
‘ilmu lebih
memberi penekanan pemahaman pada persoalan ilmu fisika, maka ma’rifah lebih
mengarah kepada nilai-nilai Transendal. Kata ma’rifah lebih ditunjukkan dalam
wajana teologi pengetahuan tentang Allah SWT.
Seiring
dengan berkembangnya doktrin ma’rifah yang diyakini sebagai pengetahuan bathin,
terutama tentang Tuhan, istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara
pengetahuan yang diperoleh melalui indra dan akal atau keduanya dengan
pengetahuan yang diperoleh melalui kasf, ilham, ‘iyan atau isyraq (Muhammad
Muslih, 2005; 180).
Dalam
epistemologi ma’rifah sumber pokoknya adalah pengalaman. Pengalaman hidup yang
otentik, yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya.
Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk
hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Zat yang Maha Suci dan Maha
Segalanya. Untuk mengetahui Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak
perlu menunggu turunnya “teks”.
Pemaknaan
pengetahun sedemikian memiliki implikasi pada bidang pendidikan yang adalah
juga diorientasikan pada refleksi nilai-nilai Ilahiah dan bagaimana pendidikan
memberikan pemeliharaan dan penyempurnaan nilai-nilai insaniyah yang berdimensi
moral agar ia selalu berada pada dimensinya yang fitri sesuai dengan misi
pengutusan Rasul yang tidak lain adalah penyempurnaan nilai-nilai moral di
dunia.
Mengingat ibadah dalam islam selalu dikaitkan
dengan aktivitas berpikir dan memang berpikir adalah perintah Ilahi agar
manusia bisa beriman, maka meniscayakan pengetahuan rasional di dalam proses
kependidikan islam berorientari pada nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan
rasional dalam islam bukan melulu akal dan bukan pula melulu indrawi, tetapi
ada jalinan interdependensi.
Manusia diberikan fitrah untuk mengenal Tuhan,
naluri ini ada pada manusia sejak asal mula kejadian atau penciptaannya. Melalu
fitrah yang suci inilah pengetahuan yang diperoleh melalui indrawi yang
kemudian menghasilkan sebuah kebenaran yang hakiki. Jadi, dengan demikian
antara akal yang fitrah dan indrawi saling bahu membahu dalam menghasilkan
pengetahuan yang hakiki.
Pandangan
hidup islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan
subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan
metode yang menyatu (tauhid). Pandangan hidup islam bersumber kepada wahyu yag
didukung oleh akal dan intuisi.
Islam
memberikan keyakinan bahwa pembentukan pengetahuan erat kaitannya dengan
penciptaan hubungan manusia, alam, dan Tuhan dalam siklus yang tidak terputus. Manusia
sebagai subjek ilmu dituntut proaktif memainkan peran khalifahnya di dalam
membuat garis-garis hubungan yang akan membentuk dirinya sebagai manusia mu’min
muttaqin yang diidamkan. Dalam upaya ini, Islam mengajarkan bahwa setiap anak
manusia memiliki kebebasan menentukan dirinya yang akan membawanya pada ‘ilmu
al-yaqin yang memungkinkan ia bertanggung jawab akan apa yang ia hasilkan.
Pengakuan
akan betapa pentingnya ilmu dan Islam, terlihat dari ajarannya yang menyebutkan
bahwa mencari dan mengajarkan ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, sehingga
lembaga pendidikan adalah suatu lembaga yang bertugas bagaimana menyadarkan
subjek didiknya akan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengambil peran
dalam belajar dan membelajarkan tersebut.
Dengan
demikian, pendidikan menempati posisi penting dalam pemanusiaan, tidak saja
kerena eksistensinya sebagai pembentukan kepribadian, tetapi juga karena
berkenaan dengan misi kemanusiaan sebagai subjek yang memiliki tanggung jawab
atas peradaban dan pengembangan serta pembangunan dunia seperti tercermin dalam
fungsinya sebagai khalifah dan ‘imarah di muka bumi.
BAB III
PENUTUP
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai
kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli
metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai
dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab
akibat, dan kemungkinan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling
kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis
ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang
belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi
dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah
menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan
(3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang
bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca
indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan
ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas
prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga
dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa
aliran dalam bidang ontologi, yakni idealisme, realisme, pragmatisme, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar
Osman, Tauhid & Sains, Pustaka Hidayah, Bandung, 1995
Muhmidayeli,
Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011
Muhmidayeli,
Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005
Muslih
Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005
Syah
Hidayat, Filsafat Pendidikan Islam, LP2S, Pekanbaru, 2012
Tsaqofah,
Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam 1427 H