Jumat, 23 November 2012

KRITSME DAN POSITIVISME


KRITISME

            Pertikaian antara rasionalisme dan empirisme memerlukan jalan penyelesaiannya. Dalam hal ini datanglah Immanuel Kant mencoba mendamaikan antara keduanya. Pada awalnya Kant adalah pengikut rasionalaisme, kemudian terpengaruh oleh pemikiran Hume dengan empirismenya. Namun empirisme tidaklah diterima Kant begitu saja, karena diketahuinya, bahwa empirisme membawa keragu-raguan terhadap budi. Kant mengakui akan kebenaran ilmu, ia mengakui bahwa budi dapat mencapai kebenaran. Akan tetapi ia belum tahu syarat-syarat untuk mencapai kebenaran itu. Maka ia menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi. Inilah awal dari munculnya pemikiran Kant yang akhirnya disebut dengan kritisme.
            Filsafat Kant yang berusaha mengatasi dua aliran yang bertikai (rasionalisme dan empirisme) dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang etrdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu dengan antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang lebih menyejukkan dan konstruktif.[1]
            Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, ia memberikan tempat sentaral pada manusia sebagai subjek dalam berpikir. Maka dalam filsafatnya Kant tidak memulai penyelidikan atas benda-benda yang menjadi objek, melainkan menyelidiki struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Menurutnya lahirnya pengetahuan karena manusia sebagai dengan akal aktifnya mengkontruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap.
            Dalam kritiknya ini, Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Oleh karena itu ia terlebih dahulu membedakan adanya tiga macam putusan:[2]
1.    Putusan analistis (a priori); dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya: setiap benda menempati ruang).
2.    Putusan sintesis (aposteriori): misalnya, pernyataan “meja itu bagus”, di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (post) mempunyai pengalaman dengan berbagai aneka ragam meja yang pernah diketahui.
3.    Putusan sintesi (a priori): di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintesis, namun bersifat a priori juga. Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori), namun putusan ini juga bersifat sintesis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini abik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintesis yang bersifat a priori ini.
Menurut Kant keputusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru. Persoalannya adalah bagaimana terjadinya pengetahuan yang demikian itu?
            Menjawab pertanyaan itu Kant menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan sintesis dari unsur-unsur yang ada sebelumnya. Pengalaman yakni unsur a priori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yakni unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis itu, menurut Kant terjadi dalam tiga tingkatan pengetahuan manusia sekalipun. Tingkat pertama dan terendah adalah pencerapan indrawi, lalu tingkat akal budi, dan tingkat tertinggi adalah tingkat rasio/intelek.
Menurut Kant ada tiga pengenalan roh, yaitu: pengamatan indera, akal, dan rasio atau budi. Adapun pengetahuan budi diterangkan pada bagian yang disebutnya Transcendentale Logik. Di situ diselidiki unsur-unsur a priori yang ada pada pengetahuan budi. Logik ini ada dua bagian yaitu Trancendentale Analytik dan Trancendentale Dialektik. Dalam analytik itu dibentangkan pengertian dan putusan a priori.[3]     

POSITIVISME

            Paham positivisme ini dipelopori oleh Auguste Comte yang awalnay muncul di Perancis. Menurut Comte untuk menciptakan masyarakat baru yang serba teratur, perlu adanya perbaikan jiwa dan budi terlebih dahulu. Menurutnya pemikiran manusia itu berkembang dalam tiga tahap  atau zaman, yaitu: zaman teologis, zaman ontologis atau metafisis, dan zaman positivistis.
            Pada tingkat teologis, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan, sedang pada tahap metafisik, penjelasan mengenai sesuatu didasarkan atas pengertian-pengertian metafisik, seperti substansi, form, sebab, dan lainnya. Sedang pada jenjang positivistis, alam pikir manusia mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab pertama.
            Menurut aliran ini, untuk mencapai kebenaran, maka seorang pencari kebenaran (peneliti) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan. Hubungan epistimologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakikat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Oleh karena itu secara metodologis, seorang peneliti menggunakan metodologi eksperimen-empirik unutk menjamin agar temuan yang diperoleh berul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, peng8ukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
            Dibawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun peryataan-pernyataan ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. dapat diamati, 2. Dapat diulang, 3. Dapat diukur, 4. Dapat diuji, 5. Dapat diamalkan. Syarat 1-3 merupakan syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkan 4-5 diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional, dan kuantitatif.[4]
            Metodologi merupakan isi utama yang dibawa positivisme, yang memang dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat menitikberatkan pada aspek ini. Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek positif. Jika metodologi bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, maka kenyataan dimaksud adalah objek positif.[5]
            Dari apa yang diungkapkan Comte, maka bisa diterjemahkan ke dalam norma-norma metodologis sebagai berikut:
  1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif.
  2. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
  3. Ketetapan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.
  4. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis.
  5. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif dan semangat positif’.












DAFTAR PUSTAKA


Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011

Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005

Sudarsono, Ilmu Filsafat: suatu pengantar, cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2008



[1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal: 61
[2] Ibid, Hal: 62
[3] Sudarsono, Ilmu Filsafat: sebuah pengantar, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, Hal: 324-325
[4] Op.Cit, Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Hal: 79-80
[5] Ibid, Hal: 92

RASIONALISME DAN EMPIRISME


RASIONALISME

            Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
            Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.[1]
            Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:[2]
  1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
  2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
  3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam  adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua; pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”. 
            Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan.  Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
            Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
            Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
            Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.













EMPIRISME

            Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang terpenting adalah David Hume.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan.[3] Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia.[4] Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.









DAFTAR PUSTAKA


Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011

Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005

Sudarsono, Ilmu Filsafat: suatu pengantar, cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2008



[1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal: 50
[2] Ibid, Hal: 50
[3] Ibid, Hal: 53
[4] Sudarsono, Ilmu Filsafat: sebuah pengantar, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2008

Ontologi Ilmu Pengetahuan


BAB I
PENDAHULUAN

            Dalam proses keilmuan, paradigma ilmu memegang peranan yang penting. Fungsinya adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan.
            Dalam paradigma ilmu, ilmuan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengugkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya.
            Dalam hal ini dimensinya adalah; apa sebenarnya hakikat dari sesuatau yang dapat diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang perlu dipertanyakan ialah hal yang nyata.
            Ada beberapa aliran dari dimensi ini, beberapa diantaranya ialah idealisme, realisme, pragmatisme dan islam. Berikut akan penulis jelaskan, sehingga sedikit memberikan penerangan bagi kita mengenai dimensi di atas. 











BAB II
Ontologi Ilmu Pengetahuan

            Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa yunani, ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada.
Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi.[1]
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka ontologi adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu.
Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Maka tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, dan salah satunya ialah; dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab pada dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata.
Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Ada beberapa aliran dalam ontologi, beberapa aliran tersebut yaitu;
1.    Idealisme
Tokoh utama dalam aliran ini ialah Plato dengan ajarannya yang terkenal yaitu; bahwa ia telah mengatakan seuatu yang nyata atau riil itu adalah sesuatu yang berada di ruang idea. Menurutnya idea merupakan gambaran yang jelas tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indra manusia.[2]
Kaum idealisme berkayakinan, bahwa apa yang tampak dalam alam realitas bukanlah merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan bayangan atas apa yang bersemayam dalam alam pikiran manusia. Menurutnya realitas kebenaran dan kebaikan sebagai idea telah dibawa manusia sejak ia dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi.
Kaum idealis meyakini bahwa pengetahuan sesungguhnya adalah hasil atau produk akal, karena akal merupakan seuatu kemampuan melihat secara tajam bentuk-bentuk spritual murni dari sesuatu yang melampau bentuk materialnya.[3]
Pengetahuan yang dihasilka indra tidak akan pernah menjadi pengetahuan yang hakiki atau sebenarnya tanpa pernah membiarkan akalnya untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang dirasakan indara tersebut.
Menurut aliran ini, pengetahuan adalah suatu bagian dari pemikiran manusia yang dikategorisasikan melalui alam yang objektif yang mana itu ditangkap oleh indra manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan haruslah melalui idea-idea yang seluruh koneksitasnya bersifat sistematis.
   Plato menempatkan konsep “the idea of the good” ini sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan proses pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea memberikan keyakinan bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia. Idea memiliki hubungan langsung dengan putusan-putusan rasio yang mengarah pada pembentukan sikap.[4]
Plato sependapat dengan gurunya Socrates yang mengatakan bahwa pengetahuan yang diterima melalui panca indra mesti selalu berada pada ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dunia materi hanyalah pantulan dari being yang lebih sempurna dan dalam realitasnya selalu tidak mencerminkan seluruh dari substansi yang sesungguhnya. Gambaran asli dari dunia idea manusia hanya dapat dipotret oleh jiwa murniya yang dalam banyak hal berkenaan dengan intelek manusia.[5]
Idealisme berkeyakinan bahwa realitas sejati adalah dunia ruhaniah, bukan yang materi. Dengan kata lain bahwa yang hakiki adalah idea bukanlah panca indra. Apapun yang ditangkap oleh panca indra baik itu yang dilihat, diraba, dirasa, dan dicium , itu hanyalah sebatas itu saja. Sesuatu yang jelas dan pasti ialah apa yang berada dalam dunia idea.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, karena posisinya tidak tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli yang memiliki watak asli dan konstan.[6]
Berdasarkan ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan bahwa pengetahuan berada dalam dua tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastia absolut. Plato berpendapat, bahwa pengetahuan adalah kesadaran dunia idea manusia bahwa pengetahuan yang diajukan dan kesadarannya memiliki hubungan sistematis dengan keseluruhan ideanya tentang kebaikan yang mutlak sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan manusia.[7]





2.    Realisme
Realisme merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa suatu yang riil adalah sesuatu yang bersifat fisik dan psikis.
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan structural.[8]
Realisme melihat adanya hubungan dealektik antara realitas subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di pihak lain ada realitas lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yangt dijadikan objek pengetahuan. Sebuah pengetahuan baru dapat dikatakan benar apabila ada kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat substantif. Aliran ini menekankan, bahwa sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara nyata memang ada (Muhmidayeli, 2011; 95).
Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, pertama yaitu; subjek sebagai realitas yang menyadari dan mengetaui di satu sisi, dan yang kedua yaitu; realitas yang berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan di sisi lain.
Bertolak belakang dari pandangan idealisme yang menyatakan bahwa pikiran manusia dimuati oleh kategori-kategorinya, seperti substansialitas dan kausalitas tentang data indrawi, maka realisme berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima bukanlah sebuah dunia yang kita ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah dunia yang apa adanya. Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam adalah merupakan segi-segi dari benda-benda itu sendiri, bukanlah semacam proyeksi dan pikiran.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran “yang lama” itu memang banar, yaitu disebabkan pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi pada kasus itu. Jadi koherasi tidak melahirkan kebenaran.[9]
Realisme berkeyakinan bahwa pengetahuan selalu dihasilkan dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang kebenarannya telah dikonfirmasi secara berulang-ulang.[10]

3.    Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Kaum pragmatisme menyakini bahwa pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang ianya terpisah dari aktivitas pendidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang mengetahuinya. Kebenaran itu tergantung sepenuhnya melulu pada korespondensi ide manusia dengan realitas eksternal, karena realitas bagi manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskannya.[11]
Menurut pragmatisme pengetahuan itu adalah produk dari proses interaksi atau transaksi antara manusi dengan lingkungannya. Dan kebenaran adalah suatu proferti bagi pengetahuan itu.
Bagi kelompok pragmatisme suatu ide itu dapat dikatakan benar jika ia benar-benar berfungsi dan bisa diterapkan. Dengan kata lain sebuah pengetahuan dikatakan benar apabila ia bernilai, bermanfaat, dan dapat diterapkan.
William James mengatakan “ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai dan atau fungsional bagi personnya.” Sementara itu Peirce dan jhon Dewey  mengklaim bahwa suatu ide dikatakan benar hanya jika memiliki konsekuensi yang memuaskan ketika secara objektif dan saintifik ide itu dapat dipraktikkan secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika ide itu dioperasikan di alam empiris (Muhmidayeli, 2011; 97).
Jhon Dewey menyebutkan, bahwa pikiran bukanlah suatu yang ultimate, absolut, tetapi merupakan suatu bentuk proses alamiah dimana ia muncul sebagai hasil dari hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan lingkungannya. Pikiran manusia selalu berawal dari pengalaman dan untuk kembali ke pengalaman. Ada hubungan interdependensi antara pikiran dan pengalaman empiris yang meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan jika tidak membawa perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan dilihat dari kadar instrumentalisnya yang akan membawa pada akibat-akibat yang telah atau dihasilkan oleh ide/pikiran dalam pengalaman nyata (Muhmidayeli, 2005; 98).
Pragmatisme juga mengatakan bahwa method of intelegence merupakan cara ideal untuk mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang terbaik menurut kaum pragmatisme mestilah melalui melokalisasi problem sedemikian rupa dan memecahkannya.[12]

4.    Islam
Dalam dunia islam, secara nyata membedakan antara ‘ilmu dan ma’rifah. Dua istilah mempunyai makna sendiri-sendiri bagi pengetahuan islam. Kata ‘ilmu lebih ditunjukkan untuk memaknai suatu pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai objektif empiris, ‘ilmu menunjukkan pemerolehan objek pengetahuan melalui transformasi naql ataupun rasionalitas. Sementara kata ma’rifah lebih diaksentuasikan pada pengetahuan yang bermuara pada yang Transenden, Tuhan, dan ma’rifat ini berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung objek pengetahuan.
‘ilmu lebih memberi penekanan pemahaman pada persoalan ilmu fisika, maka ma’rifah lebih mengarah kepada nilai-nilai Transendal. Kata ma’rifah lebih ditunjukkan dalam wajana teologi pengetahuan tentang Allah SWT.
Seiring dengan berkembangnya doktrin ma’rifah yang diyakini sebagai pengetahuan bathin, terutama tentang Tuhan, istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui kasf, ilham, ‘iyan atau isyraq (Muhammad Muslih, 2005; 180).
Dalam epistemologi ma’rifah sumber pokoknya adalah pengalaman. Pengalaman hidup yang otentik, yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Zat yang Maha Suci dan Maha Segalanya. Untuk mengetahui Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu turunnya “teks”.[13]
   Pemaknaan pengetahun sedemikian memiliki implikasi pada bidang pendidikan yang adalah juga diorientasikan pada refleksi nilai-nilai Ilahiah dan bagaimana pendidikan memberikan pemeliharaan dan penyempurnaan nilai-nilai insaniyah yang berdimensi moral agar ia selalu berada pada dimensinya yang fitri sesuai dengan misi pengutusan Rasul yang tidak lain adalah penyempurnaan nilai-nilai moral di dunia.[14]
 Mengingat ibadah dalam islam selalu dikaitkan dengan aktivitas berpikir dan memang berpikir adalah perintah Ilahi agar manusia bisa beriman, maka meniscayakan pengetahuan rasional di dalam proses kependidikan islam berorientari pada nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan rasional dalam islam bukan melulu akal dan bukan pula melulu indrawi, tetapi ada jalinan interdependensi.
 Manusia diberikan fitrah untuk mengenal Tuhan, naluri ini ada pada manusia sejak asal mula kejadian atau penciptaannya. Melalu fitrah yang suci inilah pengetahuan yang diperoleh melalui indrawi yang kemudian menghasilkan sebuah kebenaran yang hakiki. Jadi, dengan demikian antara akal yang fitrah dan indrawi saling bahu membahu dalam menghasilkan pengetahuan yang hakiki.
Pandangan hidup islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatu (tauhid). Pandangan hidup islam bersumber kepada wahyu yag didukung oleh akal dan intuisi.
Islam memberikan keyakinan bahwa pembentukan pengetahuan erat kaitannya dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan Tuhan dalam siklus yang tidak terputus. Manusia sebagai subjek ilmu dituntut proaktif memainkan peran khalifahnya di dalam membuat garis-garis hubungan yang akan membentuk dirinya sebagai manusia mu’min muttaqin yang diidamkan. Dalam upaya ini, Islam mengajarkan bahwa setiap anak manusia memiliki kebebasan menentukan dirinya yang akan membawanya pada ‘ilmu al-yaqin yang memungkinkan ia bertanggung jawab akan apa yang ia hasilkan.[15]
Pengakuan akan betapa pentingnya ilmu dan Islam, terlihat dari ajarannya yang menyebutkan bahwa mencari dan mengajarkan ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, sehingga lembaga pendidikan adalah suatu lembaga yang bertugas bagaimana menyadarkan subjek didiknya akan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengambil peran dalam belajar dan membelajarkan tersebut.[16]
Dengan demikian, pendidikan menempati posisi penting dalam pemanusiaan, tidak saja kerena eksistensinya sebagai pembentukan kepribadian, tetapi juga karena berkenaan dengan misi kemanusiaan sebagai subjek yang memiliki tanggung jawab atas peradaban dan pengembangan serta pembangunan dunia seperti tercermin dalam fungsinya sebagai khalifah dan ‘imarah di muka bumi.[17]













BAB III
PENUTUP

Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni idealisme, realisme, pragmatisme, dll.







DAFTAR PUSTAKA


Bakar Osman, Tauhid & Sains, Pustaka Hidayah, Bandung, 1995

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005

Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005

Syah Hidayat, Filsafat Pendidikan Islam, LP2S, Pekanbaru, 2012

Tsaqofah, Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam 1427 H





[1] Hidayat Syah, Filsafat Pendidikan Islam, LP2S Indrasakti, Pekanbaru, Hal: 33
[2] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hal: 89
[3] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hal: 92
[4] Ibid, Hal: 94
[5] Ibid, Hal:89
[6] Ibid, Hal: 90
[7] Ibid, Hal: 92
[9] Op.Cit, Muhmidayeli, 2005, Hal: 96
[10] Op.Cit, Muhmidayeli, 2011, Hal:96
[11] Ibid, Hal: 97
[12] Ibid, Hal: 97
[13] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2005, Hal: 180
[14] Op.Cit, Muhmidayeli, 2011, Hal: 99
[15] Ibid, Hal: 100
[16] Ibid
[17] Ibid